Wednesday, May 4, 2022

Mengapa kekristenan tidak mengakui Apocrypha sebagai Kitab Suci?

Kanonisasi Alkitab – Perjanjian Lama
Serie tulisan: Kanonisasi Alkitab

 

 


 

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya saya sudah menyebutkan bahwa ada banyak tulisan yang dibuat dan yang beredar di zaman ketika Tuhan Yesus hadir sebagai Manusia di dunia ini. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa semua tulisan itu dapat diterima sebagai Kitab Suci atau Firman Tuhan.

Kelompok buku yang dikenal sebagai Apocrypha misalnya, walaupun di dalamnya banyak berbicara tentang sejarah orang Yahudi, namun kumpulan kitab tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari Kitab Suci. [Baca juga: Beberapa ayat dalam Apocrypha yang bertentangan dengan ajaran Alkitab. Klik disini.]

Apocrypha sendiri berarti kumpulan tulisan yang dianggap meragukan, baik dari segi kepenulisan maupun dari segi asal-usulnya. Kumpulan kitab Apocrypha tidak terdapat di dalam kumpulan kitab suci orang Yahudi.

Di dalam sejarah Kanonisasi Alkitab, berbagai aliran di dalam gereja tidak menemukan kesulitan untuk menyepakati kitab-kitab apa saja yang termasuk di dalam Perjanjian Baru, yaitu yang terdiri dari 27 buku seperti yang kita miliki saat ini.

Akan tetapi ketika berbicara tentang Perjanjian Lama, maka timbul perbedaan terkait kumpulan kitab yang disebut sebagai Apocrypha tersebut. Sementara kaum Protestan dan kaum Yahudi hanya mengakui 39 kitab sebagaimana yang kita kenal sebagai Perjanjian Lama hingga sekarang, aliran Katolik menambahkan kumpulan kitab tersebut dengan 7 kitab lain dan 2 kitab yang merupakan tambahan kitab Daniel dan tambahan kitab Ester.

Ketujuh kitab yang ditambahkan oleh gereja Katolik adalah: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh (disebut juga Putera Sirakh atau Eklesiastikus), Barukh (termasuk Surat Nabi Yeremia), 1 Makabe dan 2 Makabe.

Di dalam tambahan kitab Daniel terdapat Doa Azarya dan Lagu Pujian Ketiga Pemuda, Kisah Susana dan Daniel, serta kisah Daniel dengan Dewa Bel dan Naga Babel.

 

Bagaimana kitab-kitab Apcrypha ini muncul ke tengah-tengah masyarakat, hingga akhirnya menjadi issue di dalam kanonisasi Alkitab?

 

Norman Geisler, salah seorang pakar Teologi dan Alkitab, di dalam bukunya yang berjudul A General Introduction to the Bible, dan secara spesifik di dalam sebuah bab yang berjudul “The Old Testament Apocrypha and Pseudepigrapha” menjelaskan bahwa proses kemunculan kitab-kitab tersebut sendiri sulit untuk dipastikan bagaimana awal mulanya. Yang pasti adalah bahwa kumpulan kitab Apocrypha tersebut ditemukan di antara kumpulan kitab Septuaginta, yang dikerjakan oleh cendekiawan Yahudi di kota Alexandira Mesir pada kira-kira tahun 250 SM.

Sejatinya, Septuaginta adalah suatu buah dari pekerjaan menterjemahkan Alkitab Bahasa Ibrani ke dalam Bahasa Yunani, namun penting untuk diketahui adalah bahwa kalangan Yahudi sendiri tidak pernah mengakui kitab-kitab Apocrypha tersebut sebagai bagian dari kumpulan Kitab Perjanjian Lama.

Di samping itu, para rabi Yahudi juga mengakui bahwa tidak ada lagi penyataan dari Roh Allah kepada para nabi untuk disampaikan kepada bangsa Israel. Mereka mengatakan: After the latter prophets Haggai, Zechariah and Malachi had died, the Holy Spirit departed from Israel, but they still availed themselves of the bath qol.[1]

Dalam kejadian selanjutnya, kitab-kitab berbahasa Yunani tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh seorang bernama Jerome, dan karena kitab-kitab Apocrypha tersebut sudah ada di dalam kumpulan Septuaginta, maka kitab-kitab tersebut ikut pula diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin.

Namun sekali lagi, penting untuk diketahui bahwa Jerome sendiri menyadari bahwa kitab-kitab Apocrypha tersebut tidak dapat disandingkan dengan kitab-kitab Perjanjian Lama yang diakui oleh kalangan imam-imam Yahudi.

FF Bruce seorang pakar di bidang kanonisasi Alkitab mencatat pengakuan dari Jerome tentang bagaimana pendapat orang Yahudi terhadap buku-buku Apocrypha tersebut. Tentang Jerome, FF Bruce mengatakan: Tobit and Judith, he was informed by Jews, were not to be found even among the Hebrew ‘apocryphal’ books.[2]

 

Menurut Norman Geisler, ada beberapa alasan mengapa orang Kristen tidak menerima kitab-kitab Apocrypa tersebut, yaitu:

 

Sikap para penulis Perjanjian Baru

Meskipun kumpulan kitab Septuaginta (yang berisi Apocrypha) sudah ada di zaman Perjanjian Baru, akan tetapi para penulis Perjanjian Baru sama sekali tidak pernah mengutip apapun yang berasal dari kitab-kitab Apocrypha. Sama sekali tidak ada referensi di dalam Perjanjian Baru yang mengarah kepada kitab-kitab yang disebut Apcrypha tersebut. Bahkan Tuhan Yesus pun tidak pernah mengutip dari kitab-kitab tersebut.

 

Sikap gereja mula-mula

Gereja-gereja yang ada pada 4 abad pertama tidak pernah mengakui Apocrypha sebagai kitab suci. Meskipun ada beberapa tokoh Kristen di zaman itu yang memiliki pandangan positif terhadap Apcrypha sebagai bacaan yang berguna, tetapi beberapa tokoh penting lainnya seperti Athanasius, Cyril, Origenes dan Jerome justru menentang kitab-kitab tersebut.

 

Perubahan sikap Agustinus

Agustinus adalah tokoh bapa gereja yang sangat penting dan sangat berpengaruh bagi dunia kekristenan bahkan hingga saat ini. Pada awalnya Agustinus menerima beberapa kitab Apocrypha, seperti 1 Esdras (yang justru tidak ada di dalam daftar kitab Katolik) dan menolak kitab yang lain seperti Barukh (yang justru diterima oleh Katolik). Tetapi dalam perkembangannya, setelah Agustinus mempelajari lebih dalam, akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa kitab-kitab tersebut tidak layak disebut sebagai kitab suci, dan Agustinus pun kembali kepada daftar kitab Perjanjian Lama sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.

 

Sikap mula-mula kalangan Katolik sendiri

Katolik sendiri pada awalnya tidak mengakui Apcrypha sebagai bagian dari Kitab Suci. Baru pada Konsili di Trente pada tahun 1546 M mereka mengakui kitab-kitab Apocrypha sebagai upaya untuk mengkonfrontir Gerakan gereja Protestan dan upaya untuk membenarkan praktik-praktik gereja Katolik yang tidak terdapat di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, seperti berdoa kepada orang yang sudah meninggal dan pembayaran sejumlah uang untuk menebus dosa manusia (seperti yang terjadi dalam penjualan surat Indulgensi).


Selain alasan-alasan yang disebutkan di atas, masih ada pertimbangan lain bagi kita orang Kristen untuk tidak menerima kitab-kitab Apocrypha, yaitu:

 

Pengakuan dari penulis kitab Makabe (salah satu kitab Apocrypa itu sendiri)

Salah satu kitab Aprocypa yang menyatakan bahwa tidak ada lagi nabi yang berbicara di zaman mereka adalah kitab 1 Makabe, yang berbunyi: So was there a great affliction in Israel, the like whereof was not since the time that a prophet was not seen among them./ Masa itu penuh kesulitan bagi Israel, sesuatu yang belum pernah dialami oleh mereka sejak nabi-nabi tidak muncul lagi di kalangan mereka. (1 Makabe 9:27).

Selain itu ada pula tertulis:

Also that the Jews and priest were welk pleased that Simon should be their governor and high preist for ever, until there should arise a faithful prophet./ Rakyat Yahudi dan imam-imam mereka telah berkenan mengangkat Simon dan keturunannya menjadi pemimpin dan Imam Agung mereka, hingga tampil seorang nabi yang dapat dipercayai. (1 Makabe 14:41)

Jadi dari tulisan di dalam kitab Makabe itu sendiri sudah tersurat bahwa di zaman tersebut tidak pernah lagi ada nabi yang diutus Tuhan seperti yang terjadi pada zaman nabi-nabi dahulu. Sekaligus hal itu menjadi bukti bahwa penulis Makabe sendiri tidak menganggap tulisan mereka sebagai tulisan berotoritas yang pantas dipersamakan dengan Perjanjian Lama.

 

Pengakuan dari Josephus

Josephus yang lahir pada tahun 37 Masehi mengatakan bahwa: From Artaxerxes to our own times a complete history has been written, but has not been deemed worthy of equal credit with the earlier records, because of the failure of the exact succession of the prophets. [3]

Berdasarkan perkataan Josephus ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada saat itu Josephus menyadari bahwa ada tulisan-tulisan yang beredar, yang sekarang dikenal sebagai Apocrypa, namun tulisan itu tidak dapat dipandang sepadan dengan catatan-catatan yang dituliskan oleh para nabi di Israel.

 

Akhir kata

Demikian beberapa alasan dan pertimbangan yang menyebabkan kita sebagai orang Kristen tidak dapat menerima Apocrypha sebagai bagian dari Kitab Suci kita. Saya pikir adalah sangat penting untuk mengetahui mana kitab yang berotoritas Ilahi dan mana yang bukan. Menempatkan kumpulan kitab-kitab yang merupakan tulisan manusia biasa dan tidak ada otoritas Ilahi di dalamnya secara bersamaan dengan kumpulan kitab-kitab yang berotoritas Ilahi adalah suatu tindakan yang berbahaya dan bisa membawa jemaat kepada kegagalan di dalam mengenal Allah yang sejati.

Ada beberapa ajaran di dalam kitab-kitab Apocrypha itu yang sangat bisa membawa orang kepada pengenalan yang keliru tentang Allah, namun hal itu akan dibahas dalam tulisan terpisah. Kiranya Tuhan berbelas kasihan menolong kita untuk bijaksana dalam menentukan sikap terhadap Kitab Suci yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita.

 

Tuhan Yesus memberikati. (Oleh: Izar Tirta)


[1] Babylonian Talmud, Yomah 9b, Sota 48b, Sanhedrin 11a dan Misdrash Rabbah on Song of Songs 8.9.3

[2] FF Bruce, The Canon of Scripture (Ilinois: InterVarsity Press, 1988), hal 91.

[3] Against Apion 1.41