Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan kata “tahu” sebagai berikut: mengerti sesudah melihat. Sedang
definisi untuk kata “percaya” adalah: mengakui atau menganggap atau yakin bahwa
sesuatu memang benar-benar ada. Dan definisi dari “iman” adalah: kepercayaan,
keyakinan pada (sesuatu)[1].
Dalam hal tersebut, definisi iman dan percaya dapat kita jadikan satu. Dapat
dikatakan definisi yang diberikan ini telah menunjukkan suatu perbedaan antara
pengertian “tahu” dan “percaya” yaitu bahwa untuk mengetahui seseorang perlu
melihat sedangkan untuk mempercayai sesuatu seeorang tidak dituntut untuk
melihatnya. [Baca juga: Mengapa kekristenan menolak kitab-kitab Apocrypha? Klik disini.]
Dengan demikian, saya dapat menyimpulkan bahwa untuk “mengetahui” dibutuhkan keterlibatan aktivitas inderawi. Walau KBBI hanya memberikan indera mata (untuk melihat) namun saya pikir tidak hanya terbatas pada indera tersebut. Seseorang dapat mengetahui sesuatu melalui pendengarannya (telinga), penciumannya (hidung), perabaannya (permukaan kulit terutama pada ujung jari) serta pengecapannya (lidah). Sedangkan untuk “mempercayai” tidak terlihat adanya keterlibatan aktivitas inderawi. Kita menganggap sesuatu benar-benar ada karena kita mengakuinya, kita meyakininya. Justru kita “terpaksa” harus menganggap sesuatu demikian adanya karena kita tidak melakukan uji coba inderawi apapun.
Di dalam Alkitab sendiri iman didefinisikan sebagai berikut:
Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.(Ibrani 11:1).
Dan dari definisi ini kita pun rupanya tidak menemukan adanya keterlibatan aktivitas inderawi, bukan?
Setelah melihat definisi-definisi di atas, maka pertanyaan kita sekarang adalah cukup sahkah iman itu untuk dipakai sebagai dasar kebenaran? Apakah “pengetahuan” memiliki nilai yang lebih tinggi dari “iman”? Adakah unsur “iman” di dalam “pengetahuan”? Atau sebaliknya adakah unsur “pengetahuan” di dalam “iman”? Saya akan mengajak kita semua untuk merenungkan hal-hal tersebut melalui tahapan-tahapan pembahasan berikut ini, pertama saya akan memulainya dari iman.
Pemahaman iman menurut Ibrani 11:1
Sebenarnya ada beberapa pengertian dari iman dalam Alkitab, namun dalam tulisan ini saya fokuskan pada definisi iman menurut Ibrani 11:1. Mengenai hal tersebut, David Fontaine menulis demikian :
Ibrani 11 mengatakan “Iman adalah dasar segala sesuatu yang kita harapkan”. Kata yang di sini diterjemahkan sebagai “dasar”, berasal dari kata “hupostasis” di dalam bahasa Yunani. Ketika Perjanjian Baru diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Inggris hampir-hampir 400 tahun yang lalu, mereka masih menerka-menerka apa arti dari kata ini. Itu karena kata ini adalah istilah niaga yang tidak biasa dipergunakan di dalam literatur klasik Yunani. Mereka hanya tahu bahwa kata itu berarti sesuatu yang penting, jadi mereka menterjemahkannya sebagai “dasar”. Tapi beberapa tahun yang lalu para ahli Arkeologi menggali dan menemukan reruntuhan sebuah rumah penginapan tua di daerah Israel Utara. Di sana ditemukan sebuah peti besi kecil yang berisikan kertas-kertas berharga milik seorang wanita terhormat bangsa Romawi, yang memiliki tanah dan ladang di Israel. Pada hampir setiap kertas yang ditemukan di dalamnya mempunyai judul yang tertulis dengan huruf besar di sepanjang bagian atas dokumen tersebut “Hupostasis”. Kertas-kertas ini adalah bukti pemilikan dari tanah dan ladang yang dimilikinya. Wanita Romawi ini mungkin tidak pernah melihat sendiri tanah yang dimilikinya di Israel tapi dia tahu bahwa itu semua adalah miliknya karena dia bisa membuktikan hak kepemilikannya melalui surat-surat bukti pemilikan tersebut. Jadi apa iman itu? Bukti pemilikan! “Iman adalah bukti pemilikan dari segala sesuatu yang kita harapkan”.[2]
Penuturan dari David Fontaine tersebut ternyata telah memberikan sumbangan pengertian yang besar pada kita tentang pengertian iman di Alkitab. Di dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat temukan hal semacam ini umpamanya dalam Surat Obligasi, buku bank, BPKB, Akta Notaris tentang kepemilikan harta dlsb. Di mana melalui surat-surat itu, kita dapat yakin akan kepemilikian kita atas suatu harta tertentu. Ternyata jenis iman semacam itu bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan kita, bukan? Selain itu, dari pengertian iman di atas, kita dapat temukan adanya unsur-unsur kepastian. Suatu kepastian yang didasarkan pada bukti-bukti tertentu.
Lebih lanjut jika kita melihat Ibrani 11 : 1 dalam bahasa lain, Inggris dan Yunani misalnya, kita akan temukan bahwa unsur iman yang disebutkan di dalamnya adalah iman yang didasarkan pada aspek-aspek kepastian, jaminan, bukti, evidensi[3] dan bahkan pengetahuan.
Dalam bahasa Inggris misalnya, menurut versi NASB[4], Ibrani 11 : 1 berbunyi sebagai berikut :
Now faith is the assurance of things hoped for, the conviction of things not seen. Mari sekarang kita lihat apa bahasa Yunani untuk masing-masing istilah yang telah digaris bawahi tersebut.
Faith :
Istilah Yunaninya è pistis. Mengandung pengertian : persuation, credence, conviction (of religious truth or the truthfullness of God), reliance, constancy, assurance.
Assurance :
Istilah Yunaninya è hupostasis. Mengandung pengertian : confident, secara lengkap sudah kita bahas di atas.
Hoped for :
Istilah Yunaninya è elpizo. Mengandung pengertian : to expect, confide (trusting; not suspicious, trust enough to tell a secret), hope, trust.
Conviction :
Istilah Yunaninya è elegchos è Mengandung pengertian : proof, conviction, evidence, reproof.
Dari uraian tersebut, kita dapat melihat bahwa iman yang dimengerti di dalam Alkitab bukanlah sejenis iman yang ‘mudah-mudahan’, melainkan iman yang penuh dengan keyakinan. Dan keyakinan itu di dasarkan pada sesuatu yang pasti, dilengkapi dengan bukti-bukti, jaminan, evidensi dan pengetahuan. Jadi sekalipun kita tidak dapat melakukan uji coba inderawi atas “segala sesuatu” yang kita yakini, namun kita dapat melakukan uji coba terhadap bukti kepemilikan (hupostasis) atas “segala sesuatu” tersebut. Dan bukti kepemilikan itu memiliki kekuatan yang besar (karena kesahannya) untuk membawa tingkat keyakinan kita sampai ke tingkat tahu. Sebagai contoh : Seseorang yang memiliki buku tabungan pada bank tertentu pastilah tidak akan berpikir bahwa ia mudah-mudahan dapat menarik uangnya[5]. Ia memiliki keyakinan yang kuat didasarkan pada bukti-bukti yang sah bahwa uang itu, sekalipun ia sekarang belum melihatnya, dapat ia ambil kembali.
Di dalam kekristenan, iman kepada Yesus Kristus memiliki dasar yang kuat. Sebab Yesus sendiri pernah hadir di dalam dunia ini, dunia di mana manusia bisa menyentuhnya secara inderawi. Dan catatan-catatan tentang Yesus Kristus, yang kita kenal sebagai kitab Injil adalah evidensi yang kuat untuk dapat dipakai sebagai dasar iman kita. Sehingga sekalipun kita saat ini tidak dapat menyentuh Yesus Kristus secara inderawi, kita dapat berpaling pada evidensi Alkitab sebagai dasar yang kuat bahwa Yesus Kristus adalah kebenaran. Di dalam iman ada unsur-unsur “tahu”. Aktivitas inderawi yang dituntut keberadaannya sebagai syarat untuk mengetahui sesuatu, telah kita lakukan pada hupostasis yang sah yaitu Alkitab.
Semoga melalui semuanya ini, iman kita boleh semakin dikokohkan dan kecintaan kita pada apa yang kita imani dapat semakin ditingkatkan.
Tuhan memberkati. (Oleh: izar tirta)
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1996)
[2] David Fontaine, Renungan – Apa Iman itu? (Jakarta : Family Care Indonesia)
[3] Evidensi (Inggris : Evidence) berbeda dengan bukti (Inggris
: Proof). Membuktikan artinya
melakukan eksperimen tertentu pada objek tertentu untuk menguatkan sebuah
hipotesa dan menghasilkan suatu kesimpulan. Evidensi artinya data-data ataupun
informasi tentang sesuatu yang dapat dipakai sebagai dasar untuk menguatkan
hipotesa tertentu dan menghasilkan suatu kesimpulan tertentu.
[4] Spiros Zodhiated, The Hebrew-Greek Key Study Bible
(Chattanooga : AMG Publishers, 1990)
[5] Tentu saja dalam asumsi
kondisi normal, bank tersebut tidak sedang dilikuidasi misalnya. Tetapi,
sekalipun dalam keadaan likuidasi kita tetap punya hak untuk menuntut harta kita
kembali berdasarkan bukti kepemilikian (hupostasis)
tsb.