Sunday, May 22, 2022

Berdamai dengan Allah sebagai dasar bagi terciptanya perdamaian dunia

 


Ada pepatah mengatakan: “Seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.” Yang ingin disuarakan oleh pepatah ini adalah suatu hasrat untuk berdamai dengan semua orang. Memang sungguh menyenangkan bukan, jika kita bisa berdamai dengan semua orang. Akan tetapi mungkinkah kedamaian dengan sesama itu menjadi sesuatu yang dapat kita miliki? [Baca juga: Dimensi Kasih Allah. Klik disini.]

Peperangan antar negara, ketegangan antar kelompok, terus saja terjadi di dunia. Media massa tidak pernah kekurangan berita tentang pertikaian antar manusia, mulai dari skala suami istri yang pisah ranjang sampai pada skala bunuh-bunuhan antar saudara dan saling kirim rudal antar negara. Sulit dipungkiri, kebencian adalah warna dominan di dalam atmosfir bumi kita ini. [Baca juga: Iman Kristen bukanlah suatu kepercayaan yang buta. Klik disini.]

Alkitab pun tidak berusaha menutup-nutupi berbagai pertikaian di antara umat manusia. Mulai dari Adam dan Hawa yang berdebat tentang siapa yang paling bertanggungjawab atas perbuatan mereka memakan buah terlarang (dapatkah kita bayangkan betapa banyaknya pertengkaran yang kemudian muncul dalam beratus-ratus tahun usia pernikahan mereka?), dilanjutkan dengan Kain yang membunuh Habel, dan diteruskan oleh keturunan mereka yang hidup penuh kekerasan dan kekejian satu sama lain.

Generasi umat manusia yang ganas ini sempat ditenggelamkan Tuhan di dalam air bah ketika zaman Nuh. Tetapi, air bah boleh surut kembali, namun tidak demikian halnya dengan kebencian di antara umat manusia. Perjanjian Lama mencatat begitu banyak pertikaian dan pertentangan yang terjadi pasca air bah, bukan saja di tengah orang-orang yang tidak mengenal Tuhan tetapi juga di antara umat Allah.

Perjanjian Baru pun tidak menampakkan wajah yang lebih baik jika ditinjau dari sudut pandang hubungan antar manusia. Murid-murid Tuhan Yesus berdebat tentang siapa yang paling besar di antara mereka, lupa bahwa Guru mereka masih di situ. Tulisan-tulisan Paulus pun melukiskan bagi kita pertikaian-pertikaian yang terjadi di dalam jemaat Tuhan. Dan, seolah ingin setia pada tradisi, gereja sampai hari inipun tidak luput dari berbagai pertengkaran antar sesama umat percaya. Beberapa pertengkaran bahkan sampai pada tahap dead lock, tidak ada jalan keluarnya lagi. Jadi pertanyaannya, masih relevankah kita bicara tentang perdamaian?? Apalagi sampai bercita-cita jadi pembawa damai?? Apa yang menjadi faktor penting bagi pendamaian?

 

Arti Penting Berdamai dengan Allah

Pada dasarnya, kita tidak mungkin mengerti perdamaian yang sejati, jika kita tidak mengerti apa artinya didamaikan dengan Tuhan. Billy Graham pernah menulis sebuah buku yang laris sekali dan dibuatkan pula dalam versi traktat, judulnya Peace with God, Damai Dengan Allah. Buku ini menceritakan suatu kebenaran yang hakiki dari suatu perdamaian, yaitu damai dengan Allah, sebab dari sinilah perdamaian sejati bermula.

Sebagai manusia yang hidup di dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, kita bukan saja menjadi seteru bagi sesama kita,  tetapi juga (bahkan terutama) seteru bagi Allah. Alkitab mengajarkan pada kita sifat dosa yang memecah belah. Sehingga dalam artian tertentu, kita dapat melihat dosa sebagai lawan kata dari kasih, yaitu dimana dosa bersifat memecah belah, maka kasih bersifat mempersatukan.

Oleh karena itu, selama hidup manusia masih dilingkupi oleh dosa, pembicaraan tentang perdamaian adalah hal yang sia-sia belaka. Mengapa? Karena akar dari permusuhan itu sendiri belum dibereskan. Untuk dapat berdamai dengan sesama, pertama-tama kita harus berdamai dengan Allah. Dan untuk berdamai dengan Allah dibutuhkan iman. Itulah sebabnya saya mengatakan: “Iman adalah faktor penting bagi pendamaian.”

Di dalam kekristenan yang sejati, iman dimengerti sebagai suatu hubungan yang benar dengan Allah. Iman mempersatukan orang percaya dengan Kristus. Dengan kata lain, hanya ketika seseorang memiliki hubungan yang benar dengan Allah sajalah, maka orang itu boleh berharap dapat berdamai dengan manusia di dalam kedamaian sejati.

 

Kisah kekejaman manusia

Corrie tenBoom menggambarkan kekejaman perang melalui dalam buku “Ketika Tuhan tidak dapat Dimengerti” yang ditulisnya sebagai kesaksian hidupnya sendiri. Ini mengingatkan kita pada film “The Pianist,” yang juga melukiskan dengan gamblang kekejaman tentara Jerman pada orang Yahudi. Dalam salah satu adegan diperlihatkan sebuah keluarga Yahudi yang sedang makan malam, ketika serombongan tentara Jerman menendang pintu mereka. Dengan angkuhnya tentara-tentara itu memerintahkan keluarga ini berdiri. Salah satu anggota keluarga itu, sang kakek, duduk di kursi roda, jelas ia tak dapat berdiri. Namun hal ini membuat pemimpin tentara merasa terhina, ia memerintahkan orang tua renta itu diangkat dari kursi rodanya lalu dilemparkan keluar jendela. Keluarga itu tinggal di lantai empat (atau tiga, saya lupa persisnya), tentu dapat dibayangkan apa yang terjadi pada orang tua lumpuh itu. Tidak cukup sampai di situ, keluarga yang tadinya sedang makan malam ini ditembaki, satu orangpun tidak tersisa.

Meksipun itu cuma film, tapi pesannya jelas sekali yaitu kekejaman tiada ampun yang pernah sungguh-sungguh terjadi di bumi kita.[1] Bagi Corrie, kejadian seperti itu bukan sekedar film tetapi hal yang sungguh nyata terjadi pada hidupnya. Luput dari neraka Nazi dan tetap hidup adalah mukjizat. Tetapi mampu mengampuni seorang tentara Nazi yang membunuh keluarga sendiri? Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, bukan?

Tidak mudah juga tentu saja bagi Corrie, tetapi imannya telah menolong dia. Iman inilah, yaitu hubungan pribadinya dengan Allah yang telah memampukan dia untuk berdamai bahkan dengan musuh paling kejam sekalipun. Tidak ada langkah-langkah psikiater ataupun ahli psikologi yang mampu menolong kita melakukan tindakan yang “tidak masuk akal” ini. Tidak ada cara-cara manusiawi yang dapat menolong kita berdamai seperti itu. Seharusnya tentara itu disiksa sebagai balasan. Seharusnya keluarga tentara itu dibantai pula sebagai gantinya, tetapi mengampuni dia? “Oh Tuhan, sungguh ajaib perbuatan-Mu, sungguh tak terselami pikiran-pikiran-Mu, dimuliakanlah Nama-Mu!! Karena aku sendiri pun seorang bejat yang telah Kau-ampuni…”

Oleh karena itu, apabila kita ingin menjadi seorang pembawa damai? Yang harus pertama-tama kita tanyakan bukanlah: “Bagaimana caranya?” Tetapi: “Bagaimanakah hubunganku dengan Tuhan akhir-akhir ini?”

 

Tantangan yang berat bagi pembawa damai

Iman yang sehat memungkinkan kerohanian kita bertumbuh dengan sehat pula. Pada gilirannya, di dalam diri kita akan terbentuk pula karakter-karakter rohani yang baik, Alkitab menyebutnya sebagai buah Roh. Karakter tidak mungkin terbentuk dalam semalam, dibutuhkan Firman Tuhan untuk memupukinya dan ujian, kesulitan serta penderitaan untuk mengujinya.

Murid-murid Tuhan Yesus pun terlihat bukan sebagai tipe anak-anak manis yang duduk diam di bangku gereja. Pada masa-masa awal kehidupan bersama dengan Tuhan, mereka justru saling berdebat ingin menjadi yang paling hebat. Mereka heran melihat Tuhan Yesus sudi bergaul dengan orang Samaria. Mereka larang orang lain yang tidak ikut dalam kelompok mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Mereka sok berani tanpa benar-benar sadar apa yang mereka hadapi. Akhirnya mereka lari kocar-kacir karena takut ketika Guru mereka ditangkap.

Tetapi apa yang terjadi setelah iman mereka menjadi lebih dewasa? Mereka sungguh-sungguh berubah menjadi orang-orang yang mengubah dunia. Mereka rendah hati, mau bergaul dengan siapa saja, terbuka pada kelompok lain dan benar-benar pemberani. Sewaktu Tuhan Yesus masih ada di dunia, Yohanes muda pernah berharap agar ada api turun dari langit kepada orang-orang yang menolak berita mereka. Tetapi kelak Yohanes yang sama ini telah berubah menjadi orang yang sangat lembut, penuh kasih dan sayang.

Bagaimana hubungan kita dengan Tuhan akhir-akhir ini? Jangan biarkan kehidupan ini berlalu begitu saja tanpa pernah diperiksa. Saya setuju dengan Plato yang berkata: “Kehidupan yang tidak diperiksa tidak layak dijalani.” Di bagian awal tulisan ini, saya bertanya masih relevankah kita berbicara tentang perdamaian di tengah dunia yang berkecamuk dalam kebencian seperti ini? Jawabnya adalah sungguh relevan. Justru ketika hidup damai itu semakin hari semakin kabur, kita diperintahkan untuk menghidupkannya kembali.

Menjadi pembawa damai rupanya bukan pilihan bagi kita, yaitu sesuatu yang boleh dilakukan jika kita suka atau lupakan saja jika itu terlalu memberatkan. Menjadi pembawa damai adalah perintah Tuhan, itu adalah salah satu ciri atau karakteristik dari anak-anak Tuhan. Saya akui, senang sekali jadi anak Tuhan, tetapi jadi pembawa damai? Pernah suatu kali ketika saya sedang khusuk berdoa tentang sesuatu hal, tiba-tiba terlintas di kepala saya sosok seseorang yang saya tahu sangat senang menipu dan menjadi semacam duri dalam daging bagi hidup saya. Saya berhenti berdoa, justru ketika tiba-tiba ada dorongan untuk berdoa bagi orang yang menyebalkan ini. Saya tidak segera melanjutkan berdoa, melainkan bergumul dengan susah payah, haruskah aku berdoa bagi dia? Akhirnya setelah beberapa saat bergumul dengan diri saya sendiri, saya mulai berdoa bagi kebaikan orang itu. Sejujurnya saya akui, rasanya sakit sekali, tetapi Tuhan begitu berbelas kasih pada saya, makhluk hina ini, sehingga segera memberikan suatu sukacita ketika saya selesai melakukannya.

 

Kesimpulan

Tidak mudah memang menjadi pembawa damai, bahkan berdamai dengan diri kita untuk berdoa bagi orang yang tidak menyenangkan saja sudah sulit apalagi jika berhadapan secara muka dengan muka. Itu bukan pekerjaan enak seperti jalan-jalan di mall. Itu adalah ujian bagi iman kita sendiri. Apakah kita ingin taat?

Jika di summary-kan, maka tahapan yang biasanya perlu kita lalui sebelum menjadi pembawa damai adalah: berdamai dengan Allah, berdamai dengan diri sendiri (yaitu melalui panyangkalan diri) dan terakhir barulah berdamai dengan orang lain.

Jika kita tidak berusaha melewati tahap pertama dan kedua, niscaya akan sulit sekali melangkah ke tahap ketiga. Tahap pertama dan kedua terjadi dalam keheningan bersama Tuhan dan diri sendiri. Tahap ketiga adalah “melangkah keluar” dalam persekutuan dengan orang lain.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin. (Oleh: izar tirta).


[1] Lagipula, The Pianist diangkat dari kisah sebenarnya (based on true story). Tokoh yang dibicarakan dalam film ini punya nasib yang sama dengan Corrie tenBoom, yaitu satu-satunya yang tersisa dari seluruh anggota keluarganya yang terbantai.