Saturday, November 27, 2021

Mengenal Struktur Kitab Kejadian

 

 


Pendahuluan

Tulisan ini merupakan sarana untuk mengenal Kitab Kejadian yaitu melalui:

  • Struktur dari Kitab Kejadian
  • Beberapa karakter utama yang ada di dalamnya

Kitab Kejadian atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Genesis, merupakan sebuah kitab yang berisi catatan-catatan tentang permulaan dunia, permulaan sejarah manusia, permulaan keluarga, asal usul peradaban dan bahkan permulaan dari rencana keselamatan Allah bagi manusia. Dari kitab Kejadian inilah kita dapat belajar tentang tujuan dan rencana Allah bagi ciptaan-Nya. Hal ini sesuai dengan istilah Ibrani dari kitab itu sendiri yang berarti permulaan atau asal usul.

Kitab Kejadian adalah kitab terpanjang kedua yang ada di dalam Alkitab. Kitab paling panjang yang terdapat di dalam Alkitab adalah Kitab Yeremia. Sebagai sebuah buku yang membahas tentang permulaan dari segala sesuatu, Kitab Kejadian menetapkan kerangka bagi keseluruhan Alkitab. Melalui kitab inilah kita diperkenalkan pada Pribadi dan sifat Allah, yaitu Allah sebagai Pencipta, Allah sebagai pemelihara alam semesta, Allah sebagai hakim dan juga sekaligus juga Allah sebagai penyelamat umat manusia dan beserta seluruh ciptaa-Nya.

Melalui kitab kejadian ini kita dapat belajar pula tentang nilai dan harga diri seorang manusia, yaitu sebagai makhluk yang diciptakan seturut gambar dan teladan Allah, diselamatkan berdasarkan anugerah dan dipakai oleh Tuhan untuk melaksanakan tugas pekerjaan Allah di dalam dunia ini.

 

Struktur Kitab Kejadian

Struktur dari Kitab Kejadian dapat dibagi ke dalam 7 kelompok, yaitu:

Kisah penciptaan: 1:1 – 2:3

Dalam bagian ini, dikisahkan tentang penciptaan alam semesta dan juga manusia. Melalui kisah ini kita belajar tentang betapa berharganya manusia yang telah diciptakan seturut dengan gambar dan rupa Allah.

Kisah Adam (2:4 – 5:32)

Dibicarakan tentang Adam, Hawa, Kain, Hable dan keturunan Adam yang lainnya. Pada waktu Adam dan Hawa diciptakan oleh Tuhan, mereka diciptakan tanpa dosa. Tetapi kemudian mereka jatuh ke dalam dosa ketika mereka melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Melalui kisah ini kita belajar betapa merusaknya dampak dosa bagi manusia dan bagi ciptaan secara keseluruhan.

Kisah Nuh (6:1 – 11:32)

Bagian ini membahas tentang kisah air bah, pemenuhan kembali umat manusia setelah air bah tersebut dan diakhiri dengan kisah menara babel. Melalui kisah ini kita belajar bagaimana Nuh diselamatkan dari air bah tersebut karena ia taat dan mau membangun bahtera meskipun diejek oleh orang-orang sezamannya. Kita juga belajar sebagaimana Tuhan melindungi Nuh dan keluarganya dari bencana global, maka Tuhan juga akan melindungi kita dari hukuman kekal apabila kita taat mengikuti Firman-Nya.

Kisah Abraham (12:1 – 25:18)

Beberapa hal yang dibicarakan dalam bagian ini adalah Tuhan menjanjikan munculnya sebuah bangsa kepada Abram, kisah Abram dan Lot, janji Tuhan kepada Abram tentang keturunan, Sodom dan Gomora, kelahiran dan permintaan untuk mengorbankan Isak, Isak dan Rebeka dan terakhir ditutup dengan kematian Abraham. Melalui kisah ini kita melihat bagaimana Abraham diminta untuk meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengembara di tanah Kanaan. Dalam masa-masa pengembaraan itulah iman Abraham diuji sehingga kita boleh belajar tentang apa artinya menjadi orang yang beriman.

Kisah Isak (25:19 – 28:9)

Di dalam bagian ini kita belajar tentang Yakub dan Esau, Isak dan Abimelek serta bagaimana Yakub mendapatkan berkat hak kesulungan dari Isak. Malalui kisah ini, kita belajar bahwa Isak sendiri tidak pernah meminta sebuah jalan hidup bagi dirinya sendiri. Ia bahkan tidak memberontak ketika akan dikorbankan oleh Abraham. Dan pada waktunya, Isak juga menerima dengan gembira seorang istri yang dipilihkan baginya oleh orang lain. Dari Isak kita belajar bagaimana menaruh kepercayaan kita pada kehendak Tuhan yang berjalan di depan kehendak kita sendiri.

Kisah Yakub (28:10 – 36:43)

Dalam bagian ini diceritakan bagaimana Yakub memulai sebuah keluarga yang kelak kita tahu akan berkembang menjadi sebuah bangsa. Lalu bagian ini juga menceritakan tentang bagaimana Yakub pulang kembali ke kampung halamannya dan bergumul dengan susah payah sebelum akhirnya bertemu dengan Esau, yaitu saudara yang pernah ia tipu di masa lalu. Yakub bukan tipe seorang pribadi yang mudah menyerah. Dengan setia ia melayani Laban selama lebih dari 14 tahun. Pergumulannya melawan Tuhan, lebih tepat jika dilihat juga sebagai pergumulannya melawan dirinya sendiri. Meskipun Yakub bukan orang sempurna, banyak kekurangan, tetapi dari Yakub kita belajar bagaimana hidup melayani Tuhan.

Kisah Yusuf (37:1 – 50:26)

Dalam bagian ini kita melihat bagaimana Yusuf dijual sebagai budak, dibuang ke penjara hingga akhirnya justru menjadi seorang yang berkuasa di Mesir. Sebagai sisipan untuk memperbandingkan karakter Yusuf, bagian ini juga menceritakan tentang kisah Yehuda dan Tamar. Dan di bagian akhir dikisahkan bagaimana Yusuf bertemu kembali dengan saudara-saudaranya, lalu Yakub beserta seluruh keluarganya pindah ke Mesir untuk menghindar dari bencana kelaparan. Hingga akhirnya baik Yakub maupun Yusuf sama-sama meninggal di tanah Mesir. Dari kisah kehidupan Yusuf kita belajar bahwa penderitaan, betapapun hal itu tidak adil bagi orang yang mengalaminya, pada suatu saat dapat dipakai Tuhan untuk membentuk karakter yang kuat di dalam diri orang tersebut.

[Baca juga: Kisah Yehuda dan Tamar. Klik disini.]

 

Beberapa karakter utama di dalam Kitab Kejadian

Di dalam Kitab Kejadian ini kita akan melihat ada banyak karakter atau tokoh yang muncul. Namun dari sekian banyak karakter tersebut kita akan coba melihat beberapa karakter saja yang utama yaitu:

Tuhan (Yahweh)

Yahwe dilukiskan sebagai Pencipta langit dan bumi, termasuk juga Pencipta dari manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Yahwe membuat segala sesuatu dengan keadaan yang “sungguh amat baik,”

Tetapi kemudian manusia memberontak melawan Sang Pencipta itu, sehingga dunia yang sudah diciptakan dengan sangat baik itu, akhirnya tergelincir kembali ke dalam kekacauan. Pemberontakan manusia terhadap Tuhan itu telah membawa kutukan bagi dunia. Dan kekacauan yang ditimbulkankanya sedemikian hebat sehingga Tuhan memutuskan untuk membinasakan semua orang, kecuali Nuh dan keluarganya.

Setelah Nuh selamat dari air bah yang mulai memiliki banyak keturunan, ternyata umat manusia masih saja cenderung untuk memberontak kepada Tuhan sehingga Tuhan akhirnya memilih untuk memulai suatu pekerjaan penyelamatan melalui seorang pria yang kemudian dikenal dengan nama Abraham.

Adam

Manusia pertama yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sekaligus menjadi manusia pertama yang pernah menjalin hubungan pribadi yang sangat erat dengan Allah

Hawa

Wanita pertama yang sekaligus menjadi istri yang pertama dan ibu yang pertama. Meskipun ia dibentuk dari laki-laki, tetapi setelah itu tidak ada satu laki-lakipun yang tidak berasal dari wanita.

Nuh

Menjadi satu-satunya orang yang mengikuti suara Tuhan di tengah-tengah generasi yang tidak mengenal Allah.

Abraham (sebelumnya dikenal sebagai Abram)

Ia adalah seorang Mesopotamia yang dipilih Allah untuk menjadi sebagai bapa dari sebuah bangsa yang istimewa. Abraham melakukan perjalanan melalui tanah Kanaan, yaitu tanah yang Tuhan janjikan untuk diberikan kepada keturunan Abraham kelak. Tuhan kemudian mengadakan perjanjian (atau yang disebut juga sebagai kovenan) dengan Abraham. Dan berdasarkan kovenan itulah kisah Israel sebagai sebuah bangsa pun dimulai.

Yakub/Israel

Ia adalah cucu dari Abraham. Yakub menipu ayah dan saudara laki-lakinya, berusaha keras untuk menerima berkat khusus. Dia memiliki dua belas anak laki-laki, yang mana dua belas suku Israel menelusuri garis keturunan mereka kembali.

Yusuf

Anak kesayangan Yakub, yang suka bermimpi dan sekaligus mampu menafsirkan mimpi orang lain. Saudara-saudaranya menjualnya sebagai budak, tetapi melalui anugerah dan penetapan Tuhan, ia kemudian menjadi orang kedua paling penting di seluruh Mesir dan dipakai Tuhan untuk menyelamatkan bangsa Israel dari bahaya kelaparan.

Dalam tulisan-tulisan berikutnya kita akan membahas tentang:

  • Tema-tema penting yang dibicarakan dalam Kitab Kejadian
  • Apa tujuan Kitab Kejadian?
  • Siapa penulis dan siapa pembaca yang dituju?
  • Perkiraan waktu penulisan kitab.
  • Tempat-tempat penting yang dibicarakan
  • Ayat-ayat penting dalam Kitab Kejadian

Kiranya Tuhan memberkati kita dengan pengenalan akan Dia melalui struktur Kitab Kejadian ini dan juga melalui tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Amin

(Oleh: Izar tirta)

 

Thursday, November 18, 2021

Menentang berita kebangkitan Yesus Kristus dari kematian

Oleh: Izar tirta

Siapa sajakah yang menentang berita kebangkitan Yesus Kristus?
Bagaimana sikap orang-orang pada abad Pencerahan terhadap berita kebangkitan Kristus?
Apakah kebangkitan Kristus pasti dapat membuat setiap orang menjadi percaya?




Kebangkitan Yesus Kristus dari kematian adalah berita yang kerap kali ditentang oleh berbagai pihak. Persoalan yang muncul sehubungan dengan kebangkitan Yesus Kristus itu, biasanya berkisar tentang diterima atau ditolaknya kebangkitan Yesus Kristus sebagai suatu fakta sejarah.

Stanley J.Grenz, seorang ahli teologi dari Amerika, mengungkapkan sifat sejarah dari kebangkitan Yesus Kristus dengan cara demikian: Can we say that Jesus’ resurrection is a historical event? The tendency among theologians since the Enlightenment has been to deny the historicity of the resurrection. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God (Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 1994), 256.]

Pada umumnya kita membicarakan kebangkitan Yesus Kristus dari sisi spiritualitasnya saja. Pertanyaan yang sering diajukan misalnya: Apa kaitan antara kebangkitan Yesus Kristus dari kembatian dengan iman kita? Tentu saja pertanyaan semacam ini penting untuk kita ajukan, bukan?

Tetapi Stanley J.Grenz mencoba mengangkat kisah kebangkitan Yesus Kristus dari sisi yang lain, yaitu dari sisi ke-sejarahan peristiwa tersebut. Pertanyaan yang diajukan adalah: Apakah kebangkitan Yesus Kristus sungguh-sungguh merupakan fakta sejarah?

Dari apa yang dikatakan oleh Stanley J.Grenz kita mendapat kesan bahwa sebelum abad Pencerahan, orang tidak terlalu mempersoalkan tentang apakah kebangkitan Kristus itu merupakan fakta sejarah ataukah bukan. Orang tidak terlalu mempertanyakan hal itu karena mereka yakin bahwa hal itu memang merupakan fakta sejarah. Atau setidaknya orang pada zaman itu tidak terlalu memikirkan apakah ada gunanya jika kebangkitan Yesus Kristus itu merupakan fakta sejarah ataukah bukan.

Tetapi kemudian Grenz mengambil abad Pencerahan sebagai tolok ukur penolakan terhadap sifat historis dari kebangkitan Yesus Kristus tersebut. Mengapa demikian? Hal ini dilakukannya karena pada abad tersebut semangat penolakan terhadap sifat sejarah dari kebangkitan Kristus cukup subur terjadi di Eropa, yaitu benua yang (ironisnya) merupakan benua dimana Kekristenan justru berkembang secara luas.

Cukup mengherankan bukan? Bahwa jaman itu disebut sebagai abad Pencerahan, tetapi justru berisi orang-orang yang mata rohaninya menjadi sedemikian gelap sehingga hal yang sedemikian penting dan dahsyat seperti kebangkitan Kristus saja pun mereka tidak dapat lagi melihatnya sebagai suatu anugerah Ilahi yang harus dihargai.

Mereka tidak melihat itu sebagai karya yang besar dan berharga, yang telah dilakukan oleh Allah bagi manusia. Sebaliknya, peristiwa kebangkitan justru hanya dilihat sebagai semacam mitos atau dongeng atau sekedar kisah yang sebetulnya tidak pernah betul-betul terjadi.

Meskipun hal ini tentu saja menyedihkan bagi kita yang percaya, tetapi mungkin kita tidak perlu terlalu terkejut melihat manusia di abad Pencerahan begitu gigih menolak berita kebangkitan Yesus Kristus itu. Sebab apabila kita melihat ke dalam Alkitab sendiri, maka kita akan temukan bahwa penolakan atas kebangkitan Yesus Kristus sesungguhnya telah muncul bahkan segera setelah peristiwa itu terjadi.


Para penentang berita kebangkitan yang tercatat dalam Alkitab

Alkitab mencatat adanya orang-orang yang dengan sengaja memberitakan suatu kabar yang bertentangan dengan kabar kebangkitan Yesus Kristus. Mereka bukan sekedar tidak percaya saja, melainkan juga secara aktif memberitakan kebohongan di tengah-tengah masyarakat, yaitu bahwa pada dasarnya Yesus orang Nazaret itu tidak sungguh-sungguh bangkit dari kematian.

Sesungguhnya, para murid Kristus pun semula tidak percaya atau sangat ragu-ragu akan kebangkitan tersebut. Namun dengan berjalannya waktu para murid kemudian menjadi percaya, bahkan hingga memiliki suatu tingkat kepercayaan yang mampu membawa mereka melalui berbagai siksaan, bahkan penganiayaan hingga mati sekalipun.

Matius 28:12–15 mencatat suatu kebohongan yang dirancang oleh orang-orang yang ingin menentang berita kebangkitan Yesus Kristus itu. Matius mencatat: Dan sesudah berunding dengan tua-tua, mereka mengambil keputusan lalu memberikan sejumlah besar uang kepada serdadu-serdadu itu dan berkata: "Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur. Dan apabila hal ini kedengaran oleh wali negeri, kami akan berbicara dengan dia, sehingga kamu tidak beroleh kesulitan apa-apa." Mereka menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka. Dan ceritera ini tersiar di antara orang Yahudi sampai sekarang ini.

Menurut catatan Matius, orang Yahudi sempat berunding untuk membahas bagaimana sikap mereka terhadap berita kebangkitan Kristus. Di dalam diskusi tersebut, mereka akhirnya mengambil keputusan. Diskusi untuk menghasilkan sebuah keputusan bersama, seharusnya merupakan sebuah hal yang baik. Tetapi di dalam peristiwa ini, kita melihat bahwa diskusi mereka bukan mengarah pada kesimpulan yang baik, melainkan justru menghasilkan suatu keputusan untuk melakukan perbuatan yang jahat.

Keputusan untuk memberi sejumlah besar uang adalah suatu tanda bahwa sebetulnya orang-orang Yahudi yang berdiskusi itu sudah tahu bahwa Yesus Kristus telah bangkit. Sebab jika mereka sangat-sangat yakin bahwa mayat Tuhan Yesus dicuri, maka sebagai otoritas yang berkuasa waktu itu, yang dilengkapi pula dengan kekuatan militer, seharusnya sama sekali bukan sesuatu yang menyulitkan untuk segera mencari para murid yang telah mencuri mayat Kristus.

Seharusnya mereka tidak perlu repot-repot menyogok serdadu dengan sejumlah besar uang. Seharusnya mereka hanya tinggal membuktikan saja bahwa mayat Kristus dicuri. Para murid Kristus juga sebagaimana diketahui semua masyarakat, hanyalah orang-orang sederhana yang tidak mempunyai ketrampilan seperti prajurit yang tangguh. Jika berhadapan dengan para serdadu, mereka dengan mudah dapat dikalahkan dan berita kebangkitan dengan mudah dapat dipatahkan melalui penemuan jasad Kristus. Tetapi bukan itu yang dilakukan oleh orang Yahudi.

Mereka seperti kehilangan akal, dan menemui jalan buntu terhadap berita kebangkitan yang sulit dibantah ini, sehingga jalan keluar terakhir adalah dengan menyuap dan menyebarkan berita palsu. Berdasarkan Matius 28:15 diketahui bahwa berita palsu tersebut akhirnya tersiar pula di antara orang Yahudi.

Catatan semacam ini tidak ditemukan di dalam kitab Injil lainnya. David Wenham, seorang teolog dari Inggris yang banyak mendalami Perjanjian Baru, melaporkan bahwa Injil Matius adalah Injil yang punya keunikan tertentu ketika menjelaskan adegan terakhir dalam kehidupan Yesus Kristus. Wenham mengatakan: Matthew’s account is distinctive in various ways. Dan di antara beberapa hal yang paling unik dalam Injil tersebut adalah tentang peristiwa penyuapan para penjaga kubur Yesus Kristus tersebut.

Kemudian Wenham melanjutkan: The guards are terrified but are bribed by the Jews to say that the disciples of Jesus stole the body. [David Wenham and Steve Walton, Exploring the New Testament: A Guide to the Gospels & Acts, Vol. I (Illinois: InterVarsity Press, 2001), 211.]

Wenham menyoroti sikap para penjaga yang merasa sangat ketakutan melihat peristiwa kebangkitan Yesus Kristus tersebut. Dan sulit dipungkiri bahwa rasa takut tersebut adalah rasa takut yang nyata (riil/genuine) karena melihat peristiwa menakutkan yang nyata pula. Tetapi sayangnya bukan pertobatan yang timbul di dalam hati mereka, melainkan justru ikut ambil bagian di dalam kejahatan yang lebih besar lagi, yaitu menyebarkan berita bohong.

Selain itu, Wenham juga berpendapat bahwa fakta penyuapan ini merupakan suatu bukti bahwa baik para penjaga maupun para imam dan tua-tua sebenarnya sudah mengetahui dengan pasti bukan para murid yang mencuri mayat tersebut. Mengapa? Sebab jika mereka memiliki keyakinan yang kuat berdasarkan bukti-bukti yang kokoh bahwa para murid yang mencuri mayat Yesus Kristus maka untuk apa mereka melakukan tindakan penyuapan tersebut?


Hati manusia yang keras dan jahat

Alkitab tidak menutup-nutupi keadaan jiwa manusia yang keras dan jahat. Sekalipun mereka sudah diperhadapkan pada bukti yang tak terbantahkan dari kebangkitan Yesus Kristus, hati mereka yang keras itu tetap saja tidak dapat menerimanya dan hati mereka yang jahat itu dengan sukarela mau mengerjakan hal-hal yang justru bertentangan dengan kenyataan yang ada.

Tidak jarang orang Kristen berpendapat bahwa mukjizat merupakan suatu tanda yang ampuh untuk membuat seseorang mau mempercayai Allah. Tetapi Alkitab kerap kali justru membuktikan bahwa hal yang sebaliknyalah yang terjadi.

Bangsa Israel sudah melihat tanda-tanda yang sangat ajaib ketika mereka keluar dari Mesir. Mereka melihat 10 tulah, mereka melihat laut terbelah, air yang memancar dari batu, makanan yang turun dari sorga dan lain sebagainya. Tetapi bukannya menjadi percaya, mereka justru kerap kali memberontak terhadap Allah dan merasa curiga pada-Nya.

Orang Yahudi sudah melihat bagaimana Kristus membangkitkan Lazarus dari kematian, tetapi mereka tidak menjadi percaya melainkan justru berniat untuk membunuh Yesus Kristus karena hal tersebut.

Dan kini, para prajurit sudah melihat bukti yang tak terbantahkan akan kebangkitan Kristus sendiri, tetapi hati mereka yang keras dan jahat tetap tidak percaya dan sekaligus mengajak lebih banyak lagi orang untuk tidak percaya akan hal itu.

Benarlah yang dikatakan oleh Yesus Kristus di dalam perumpamaan-Nya tentang Abraham: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati." (Lukas 16:31)

Seseorang yang memang diberi anugerah untuk percaya, tidak memerlukan tanda-tanda yang ajaib sebagai syarat untuk menjadi percaya. Melalui Firman Tuhan saja pun maka orang itu akan percaya. Tetapi bagi mereka yang tidak memperoleh anugerah pengampunan dari Allah, maka sekalipun di hadapan mereka sudah ada bukti-bukti yang sangat kuat sekalipun, mereka tetap tidak akan percaya.

Kiranya Tuhan Yesus menolong dan memberi kita anugerah untuk percaya kepada-Nya. Amin

Tuesday, November 9, 2021

Arti penting kebangkitan Yesus Kristus dari kematian

Oleh: Izar Tirta

 

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan satu dari tiga rangkaian tulisan yang membahas tentang kebangkitan Tuhan Yesus dari kematian. Peristiwa itu begitu penting bagi iman Kristen dan sebagai orang percaya, sudah selayaknya kita terus menerus belajar dan merenungkan peristiwa itu di dalam hidup kita. Meskipun demikian, berita kebangkitan itu sendiri bukan sebuah berita yang mudah diterima oleh banyak orang. Tidak sedikit orang yang menentang kebangkitan Kristus dan mencoba membangun berbagai argumentasi untuk menyangkali hal itu.

Meskipun peristiwa kebangkitan Kristus dicatat di dalam Perjanjian Baru, namun Perjanjian Lama pun bukan sama sekali tidak pernah membicarakannya. Seperti apa pandangan Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama tentang kebangkitan dapat direnungkan melalui tulisan lain.


Arti penting kebangkitan Yesus Kristus bagi iman Kristen

Kebangkitan Yesus Kristus dari kematian adalah faktor yang amat penting bagi iman Kristen. Rasul Paulus mengatakan: “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.” (1 Kor 15:17). Tanpa kebangkitan maka iman kita adalah iman yang kosong karena tidak memiliki objek yang jelas. Selain itu, tanpa kebangkitan status kita di hadapan Allah pun masih belum dapat diperdamaikan.

George Eldon Ladd mengomentari 1 Korintus 15:17 dengan beberapa pertanyaan, katanya: Is it not faith in the living God that is fundamental to life? Can faith in the living God be disturbed by the reality or the unreality of a single event? [George Eldon Ladd, A Theology of The New Testament (Cambridge: Lutherworth Press, 1991), 317.]

Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut Ladd ingin mengajak pembacanya untuk merenungkan satu pertanyaan sederhana terhadap gagasan Paulus: Mengapa kebangkitan Yesus Kristus menjadi faktor yang begitu penting sehingga seolah-olah beriman kepada Allah saja tidak cukup?

Para ahli memperlihatkan arti penting kebangkitan dari berbagai sudut pandang, bukan disebabkan karena pesan kebangkitan begitu kabur sehingga tidak dapat mencapai kata sepakat, melainkan agar cara pandang kita terhadap peristiwa kebangkitan itu dapat semakin diperkaya.

Donald Guthrie, misalnya, melihat arti penting kebangkitan dari sudut pandang para murid dengan mengatakan: The astonishing development of an exalted view of Christ in the thought of the early disciples demands an adequate explanation. That explanation can be found only in the resurrection. [Donald Guthrie, New Testament Theology (Illinois: InterVarsity Press, 1981), 375.]

Menurut Guthrie, sikap, cara pandang dan kerangka berpikir para murid Tuhan Yesus yang mula-mula telah mengalami suatu perubahan yang begitu drastis. Dan perubahan drastis ini tidak akan menemukan suatu penjelasan yang memadai jika kita mengesampingkan fakta kebangkitan. Antara kebangkitan dengan cara berpikir dan cara melayani para murid, terdapat suatu keterkaitan yang sangat kuat.

Dengan ungkapan yang senada, Leon Morris juga mengutarakan adanya hubungan antara pelayanan para murid dengan peristiwa kebangkitan. Morris mengatakan: Kisah Para Rasul menjelaskan bahwa kebangkitan Yesus menguasai pikiran para pewarta Injil Kristen yang mula-mula. [Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 225.]

Bagi Morris, bukan hanya sikap, cara berpikir dan semangat melayani para murid saja yang berubah tetapi juga berbagai hal yang lain. Morris menjelaskan: Kebangkitan mengubah segala-galanya dan mengawali zaman baru. Hal ini benar, sebab Allah telah bekerja secara amat nyata dan perkasa dalam kebangkitan Kristus, sehingga tidak ada sesuatu pun yang tidak akan berubah. Kematian telah dikalahkan. Lahirlah hidup baru. Dengan demikian kebangkitan memberi kia jaminan mengenai kenyataan “zaman yang akan datang.” [Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 90.]

Dapat dilihat dari ungkapan Morris, betapa luas dampak perubahan yang telah dibawa dan akan dibawa oleh fakta kebangkitan Yesus tersebut. Sementara itu, Everett Ferguson melihat arti penting kebangkitan dari kematian melalui sudut pandang para rabi Yahudi. Ferguson mengatakan: The doctrine of the resurrection became one of the essential dogmas of rabbinic orthodoxy. [Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity (Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 2003), 554.]

Meskipun demikian, Ferguson mengamati bahwa gagasan tentang natur dari kebangkitan itu sendiri cukup beragam di antara para rabi tersebut. Ferguson lebih lanjut menjelaskan: There remained varying ideas about the nature of the resurrection body. [Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity (Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 2003), 554.]

Di sisi lain, Stanley J.Grenz membahas arti penting kebangkitan dari sudut pandang ke-Ilahi-an Yesus. Grenz mengatakan: The future orientation of Jesus’ claim to uniqueness leads us to another possible historical foundation on which to ground the Christian affirmation of Jesus’ deity, namely his resurrection. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God (Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 1994), 256.]. Menurut Grenz, kebangkitan Yesus merupakan suatu keunikan yang penting karena melalui keunikan yang bersifat historis tersebut, sifat Ilahi yang dimiliki Yesus menjadi semakin nyata. Dan berkat keunikan ini pula, terbentuklah suatu dasar pemahaman dan keyakinan orang Kristen mula-mula tentang jati diri Yesus yang mereka beritakan. Grenz mengatakan demikian: The resurrection formed the foundation for the early Christian understanding of the identity of Jesus. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God (Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 1994), 259.]

Apa yang dikatakan oleh Grenz mengenai hubungan antara kebangkitan dan jati diri Yesus sejalan dengan pendapat Guthrie. Mengenai hubungan tersebut Guthrie menjelaskan: The major significance of the resurrection is the contribution it makes to our understanding of the person and work of Christ. [Donald Guthrie, New Testament Theology, 390.] Dalam hal ini Gutrie menghubungkan kebangkitan bukan hanya dengan pribadi Yesus Kristus tetapi juga dengan pekerjaan-Nya.

Dari berbagai pendapat ini, semakin jelaslah bagi kita bahwa kebangkitan itu memiliki arti penting bagi iman kita sehingga patut dibicarakan dan didiskusikan secara terus menerus. Guthrie melihat dari sudut pandang perubahan para murid sedangkan Leon Morris melihat dari sudut pandang perubahan yang lebih besar, yaitu perubahan menuju zaman yang baru. Everett Ferguson melihat dari sudut pandang para rabi sementara Stanley Grenz melihat dari sudut pandang Pribadi Yesus Kristus serta pekerjaan-Nya.

Kembali kepada beberapa pertanyaan yang diajukan George Eldon Ladd pada awal tulisan ini, ia sendiri mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ladd mengatakan: If Christ is not risen, faith is a futile thing. The reason for this is not obscure. The God who is worshipped in the Christian faith is not the product of that faith nor the creation of theologians or philosophers. He is not a God who has been invented or discovered by men. He is the God who has taken the initiative in sepaking to men, in revealing himself in a series of redemptive events reaching back to the deliverance of Israel from Egypt, and beyond. God did not make himself known through a system of teaching nor a theology nor a book, but through a series of events recorded in the Bible. The coming of Jesus of Nazareth was the climax of these series of redemptive events; and his resurrection is the event that validates all that came before. If Christ is not risen from the dead, the long course of God’s redemptive acts to save his people ends in a dead-end street, in a tomb. If the resurrection of Christ is not reality, then we have no assurance that God is the living God, for death has the last word. Faith is futile because the object of that faith has not vindicated himself as the Lord of life. [George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament, 318.]

Melalui perkataannya itu, Ladd ingin menegaskan bahwa tidak cukup bagi siapapun untuk hidup semata-mata beriman pada satu pribadi Allah tanpa menghiraukan fakta kebangkitan Yesus Kristus. Iman kepada Allah tidak mungkin lepas dari iman kepada fakta bahwa Yesus Kristus telah bangkit dari kematian.

Meskipun demikian pentingnya arti kebangkitan itu, persoalan demi persoalan terus membayangi topik tersebut. Mulai sejak terjadinya peristiwa kebangkitan itu sampai hari ini, selalu ada saja pihak-pihak yang ingin menyangkali kebangkitan Yesus Kristus. Seperti apakah bentuk-bentuk penyangkalan terhadap kebangkitan Yesus Kristus dan bagaimana penulis Perjanjian Baru sendiri memaknai kebangkitan Kristus sebagai suatu berita yang penting bagi para pembacanya akan saya bahas dalam tulisan yang lain (Klik disini)


Kesimpulan

Kebangkitan Yesus Kristus jelas sekali merupakan sesuatu aspek yang sangat penting di dalam iman Kristen. Dan kebangkitan yang dimaksud oleh Alkitab, bukanlah suatu kebangkitan spiritual semata-mata di dalam diri para murid Tuhan melainkan sesuatu yang secara historis sungguh-sungguh telah terjadi.

Kebangkitan Yesus Kristus melahirkan iman para murid dan iman para murid melahirkan gereja. Sehingga kehidupan gereja saat ini tidak dapat lepas dari fakta historis kebangkitan Yesus Kristus.

Berbagai pertentangan mengenai kebangkitan itu sudah dikemukakan sejak pertama kali peristiwa itu terjadi, sebagaimana yang telah dibahas dalam tulisan ini, hingga abad Pencerahan dan bahkan sampai abad Postmodern sekarang ini. Tetapi tidak satupun dari tentangan itu yang pada akhirnya menemukan keberhasilan. Satu persatu keraguan dan pertentangan terhadap kebangkitan Yesus Kristus dapat dibungkamkan oleh kebenaran fakta kebangkitan itu sendiri.

Kegagalan para penentang dari segala zaman itu terletak pada sikap mereka yang mengabaikan begitu saja fakta-fakta yang terurai di dalam laporan pandangan mata para penulis Injil. Para penentang ini kemudian mengembangkan sendiri paham atau paradigma yang mereka anggap paling benar. Dan karena isi dari penentangan mereka sendiri hanya dikemas oleh suatu paradigma dan bukan didasarkan pada fakta-fakta yang kokoh, maka pada akhirnya tentangan mereka itu akan pupus sendiri dihadapan kebenaran fakta-fakta sejarah.

Sebagaimana yang telah dievaluasi dalam bagian awal tulisan ini, isi dari tentangan yang diajukan dari zaman ke zaman adalah bahwa kebangkitan Yesus Kristus tidak terjadi secara historis. Model tentangannya dapat berbeda-beda, kemasan yang dipakai untuk mengajukan tentangan juga dapat berbeda, tetapi intinya adalah sama. Berbicara mengenai aspek sejarah suatu peristiwa, seperti kebangkitan Yesus misalnya, Wolfhart Pannenberg mengemukakan pandangannya demikian: Historicity does not necessarily mean that what is said to have taken place historically must be like other known events. The claim to historicity that is inseparable from the assertion of the facticity of an event simply involves the fact that it happened at a specific time. [Wolfhart Pannenberg, Systematic Theology, Vol 2., trans Geoffrey W.Bromiley (Grand Rapids Michigan: Eerdmans Publishing Company, 1991), 360.]

Dalam pandangan Pannenberg, kebangkitan Yesus Kristus adalah peristiwa sejarah, sekalipun tidak atau belum ditemukan peristiwa lain yang serupa dengan itu. Pannenberg juga mengingatkan bahwa sejarah yang sedang berlangsung ini tidak dapat dijadikan sebagai ukuran terhadap nyata atau tidak nyatanya suatu peristiwa di masa lalu. Sebab masih selalu ada kemungkinan bahwa apa yang terjadi di masa lalu, akan terjadi pula secara nyata di masa mendatang.

Aspek eskatologis dari sejarah tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Hubungan antara kebangkitan Yesus Kristus, sifat historis dan eskatologis diterangkan oleh Pannenberg demikian: In the case of the resurrection of Jesus, all Christians must realize that the facticity of the event will be contested right up to the eschatological consummation of the world because its uniqueness transcends an understanding of reality that is oriented only to this passing world and because the new reality that has come in the resurrection of Jesus has not yet universally and definitevely manifested itself. Nevertheless, Christian faith maintains that the eschatological life of the resurrection of the dead has already become an event in the crucified Jesus. [Wolfhart Pannenberg, Systematic Theology, Vol 2., trans Geoffrey W.Bromiley (Grand Rapids Michigan: Eerdmans Publishing Company, 1991), 361.]

Berhasil atau tidaknya seseorang dalam merangkul berita kebangkitan Yesus Kristus sebagai sesuatu yang historis amat tergantung pada pengertian awal seseorang terhadap apa yang dimaksud dengan realitas. Pannenberg mengatakan: Our judgment regarding the historicity of the resurrection of Jesus depends not only on examining the individual data but also on our understanding of reality, of what we regad as possible or impossible prior to any evaluation of the details. In this regard Paul is right that if we donot think the dead can rise in any circumstances, then we cannot regard the resurrection of jesus as a fact, no matter how strong the evidence may be that supports it. We must concede, however, that a judgment of this type rests on a prior dogmatic decision and does not deserve to be called critical. [Wolfhart Pannenberg, Systematic Theology, Vol 2., trans Geoffrey W.Bromiley (Grand Rapids Michigan: Eerdmans Publishing Company, 1991), 362.]

Jika Pannenberg lebih cenderung membuat antisipasi terhadap dasar filosofis para penentang kebangkitan Yesus. Stanley J.Grenz melakukan antisipasi yang bersifat lebih teknis yaitu menelanjangi satu persatu isi dari tentangan terhadap kebangkitan. Terhadap berbagai teori anti-kebangkitan yang dibangun untuk menjelaskan kubur yang kosong, Grenz menjelaskan: The appeal to the empty tomb is controversial. Critics offer several other explanations for this phenomenon. Some suggest that the women being strangers in the city, went to the wrong tomb. In response, however, we note that many other persons, including the disciples, viewed the same tomb; it seems unlikely that so many would make the same mistake concerning where Jesus’ body had been laid. An ancient explanation is that the disciples of Jesus stole his body. This alternative seems unlikely insofar as the persons who purportedly perpetrated such a hoax were subsequently willing to die as martyrs for their declaration that Jesus was risen. The suggestion that the Jerusalem authorities took the body is even less plausible, for these same authorities could then have squelched the entire Christian movement by merely producing the body when the story of Jesus’ resurrection began to circulate in the city. Since the Enlightenment the theory that Jesus did not actually die but merely went into a swoom has repeatedly gained adherents. However, the unlikelihood that Jesus could even have survived the ordeal of the final hours of Passion Week, let alone have given the impression that he had conquered death, makes the swoon theory border on the incredible. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God, 258.]

Terhadap berbagai teori anti-kebangkitan yang dibangun untuk menjelaskan penampakan Yesus setelah kebangkitan, Grenz menjelaskan: Some suggest that the supposed appearances were fabrication. But the strength of this proposal is diminished by the appeal to living witnesses found in what may be the earliest assertion of the resurrection, that of Paul (1 Cor 15:3-8). Equally unsatisfying is the suggestion that the appearances were hallucination or subjective visions. The appearances of Jesus as described by the witnesses do not occur in the kinds of situations that are conducive to hallucination, namely, a strong inward desire or a predisposing outward setting. On the contrary, the followers of Jesus saw no hope of seeing Jesus again after his crushing death, and the setting of the appearances were varied in location and in time of day. Nor were these experiences merely subjective visions, for they were apprehended by several persons at the same time. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God, 258.] 

Kebangkitan dari kematian bukanlah sesuatu yang hanya terjadi pada Yesus Kristus saja, Alkitab Perjanjian Baru saja setidaknya mencatat seorang bernama Lazarus yang bangkit dari kematian dan para hari Yesus Kristus mati di kayu salib, Alkitab juga menyaksikan bahwa ada banyak orang yang bangkit dari mati. Keunikan dari kebangkitan Yesus Kristus adalah bahwa Dia telah mengatakan segala sesuatu yang akan terjadi pada diri-Nya dan secara sukses mengerjakan semua yang dikatakan-Nya, termasuk perihal kematian dan kebangkitan ini.

Gabungan antara klaim Pribadi untuk bangkit dari kematian dan kemampuan dalam melaksanakan kebangkitan itulah yang menjadi bukti kokoh bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi Manusia.

Kiranya melalui tulisan ini keyakinan kita terhadap Yesus Kristus yang telah mati untuk menebus dosa dan bangkit untuk memberi hidup yang kekal, dapat semakin diperkaya.