Tuesday, November 9, 2021

Arti penting kebangkitan Yesus Kristus dari kematian

Oleh: Izar Tirta

 

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan satu dari tiga rangkaian tulisan yang membahas tentang kebangkitan Tuhan Yesus dari kematian. Peristiwa itu begitu penting bagi iman Kristen dan sebagai orang percaya, sudah selayaknya kita terus menerus belajar dan merenungkan peristiwa itu di dalam hidup kita. Meskipun demikian, berita kebangkitan itu sendiri bukan sebuah berita yang mudah diterima oleh banyak orang. Tidak sedikit orang yang menentang kebangkitan Kristus dan mencoba membangun berbagai argumentasi untuk menyangkali hal itu.

Meskipun peristiwa kebangkitan Kristus dicatat di dalam Perjanjian Baru, namun Perjanjian Lama pun bukan sama sekali tidak pernah membicarakannya. Seperti apa pandangan Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama tentang kebangkitan dapat direnungkan melalui tulisan lain.


Arti penting kebangkitan Yesus Kristus bagi iman Kristen

Kebangkitan Yesus Kristus dari kematian adalah faktor yang amat penting bagi iman Kristen. Rasul Paulus mengatakan: “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu.” (1 Kor 15:17). Tanpa kebangkitan maka iman kita adalah iman yang kosong karena tidak memiliki objek yang jelas. Selain itu, tanpa kebangkitan status kita di hadapan Allah pun masih belum dapat diperdamaikan.

George Eldon Ladd mengomentari 1 Korintus 15:17 dengan beberapa pertanyaan, katanya: Is it not faith in the living God that is fundamental to life? Can faith in the living God be disturbed by the reality or the unreality of a single event? [George Eldon Ladd, A Theology of The New Testament (Cambridge: Lutherworth Press, 1991), 317.]

Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut Ladd ingin mengajak pembacanya untuk merenungkan satu pertanyaan sederhana terhadap gagasan Paulus: Mengapa kebangkitan Yesus Kristus menjadi faktor yang begitu penting sehingga seolah-olah beriman kepada Allah saja tidak cukup?

Para ahli memperlihatkan arti penting kebangkitan dari berbagai sudut pandang, bukan disebabkan karena pesan kebangkitan begitu kabur sehingga tidak dapat mencapai kata sepakat, melainkan agar cara pandang kita terhadap peristiwa kebangkitan itu dapat semakin diperkaya.

Donald Guthrie, misalnya, melihat arti penting kebangkitan dari sudut pandang para murid dengan mengatakan: The astonishing development of an exalted view of Christ in the thought of the early disciples demands an adequate explanation. That explanation can be found only in the resurrection. [Donald Guthrie, New Testament Theology (Illinois: InterVarsity Press, 1981), 375.]

Menurut Guthrie, sikap, cara pandang dan kerangka berpikir para murid Tuhan Yesus yang mula-mula telah mengalami suatu perubahan yang begitu drastis. Dan perubahan drastis ini tidak akan menemukan suatu penjelasan yang memadai jika kita mengesampingkan fakta kebangkitan. Antara kebangkitan dengan cara berpikir dan cara melayani para murid, terdapat suatu keterkaitan yang sangat kuat.

Dengan ungkapan yang senada, Leon Morris juga mengutarakan adanya hubungan antara pelayanan para murid dengan peristiwa kebangkitan. Morris mengatakan: Kisah Para Rasul menjelaskan bahwa kebangkitan Yesus menguasai pikiran para pewarta Injil Kristen yang mula-mula. [Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 225.]

Bagi Morris, bukan hanya sikap, cara berpikir dan semangat melayani para murid saja yang berubah tetapi juga berbagai hal yang lain. Morris menjelaskan: Kebangkitan mengubah segala-galanya dan mengawali zaman baru. Hal ini benar, sebab Allah telah bekerja secara amat nyata dan perkasa dalam kebangkitan Kristus, sehingga tidak ada sesuatu pun yang tidak akan berubah. Kematian telah dikalahkan. Lahirlah hidup baru. Dengan demikian kebangkitan memberi kia jaminan mengenai kenyataan “zaman yang akan datang.” [Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 90.]

Dapat dilihat dari ungkapan Morris, betapa luas dampak perubahan yang telah dibawa dan akan dibawa oleh fakta kebangkitan Yesus tersebut. Sementara itu, Everett Ferguson melihat arti penting kebangkitan dari kematian melalui sudut pandang para rabi Yahudi. Ferguson mengatakan: The doctrine of the resurrection became one of the essential dogmas of rabbinic orthodoxy. [Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity (Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 2003), 554.]

Meskipun demikian, Ferguson mengamati bahwa gagasan tentang natur dari kebangkitan itu sendiri cukup beragam di antara para rabi tersebut. Ferguson lebih lanjut menjelaskan: There remained varying ideas about the nature of the resurrection body. [Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity (Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 2003), 554.]

Di sisi lain, Stanley J.Grenz membahas arti penting kebangkitan dari sudut pandang ke-Ilahi-an Yesus. Grenz mengatakan: The future orientation of Jesus’ claim to uniqueness leads us to another possible historical foundation on which to ground the Christian affirmation of Jesus’ deity, namely his resurrection. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God (Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 1994), 256.]. Menurut Grenz, kebangkitan Yesus merupakan suatu keunikan yang penting karena melalui keunikan yang bersifat historis tersebut, sifat Ilahi yang dimiliki Yesus menjadi semakin nyata. Dan berkat keunikan ini pula, terbentuklah suatu dasar pemahaman dan keyakinan orang Kristen mula-mula tentang jati diri Yesus yang mereka beritakan. Grenz mengatakan demikian: The resurrection formed the foundation for the early Christian understanding of the identity of Jesus. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God (Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 1994), 259.]

Apa yang dikatakan oleh Grenz mengenai hubungan antara kebangkitan dan jati diri Yesus sejalan dengan pendapat Guthrie. Mengenai hubungan tersebut Guthrie menjelaskan: The major significance of the resurrection is the contribution it makes to our understanding of the person and work of Christ. [Donald Guthrie, New Testament Theology, 390.] Dalam hal ini Gutrie menghubungkan kebangkitan bukan hanya dengan pribadi Yesus Kristus tetapi juga dengan pekerjaan-Nya.

Dari berbagai pendapat ini, semakin jelaslah bagi kita bahwa kebangkitan itu memiliki arti penting bagi iman kita sehingga patut dibicarakan dan didiskusikan secara terus menerus. Guthrie melihat dari sudut pandang perubahan para murid sedangkan Leon Morris melihat dari sudut pandang perubahan yang lebih besar, yaitu perubahan menuju zaman yang baru. Everett Ferguson melihat dari sudut pandang para rabi sementara Stanley Grenz melihat dari sudut pandang Pribadi Yesus Kristus serta pekerjaan-Nya.

Kembali kepada beberapa pertanyaan yang diajukan George Eldon Ladd pada awal tulisan ini, ia sendiri mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ladd mengatakan: If Christ is not risen, faith is a futile thing. The reason for this is not obscure. The God who is worshipped in the Christian faith is not the product of that faith nor the creation of theologians or philosophers. He is not a God who has been invented or discovered by men. He is the God who has taken the initiative in sepaking to men, in revealing himself in a series of redemptive events reaching back to the deliverance of Israel from Egypt, and beyond. God did not make himself known through a system of teaching nor a theology nor a book, but through a series of events recorded in the Bible. The coming of Jesus of Nazareth was the climax of these series of redemptive events; and his resurrection is the event that validates all that came before. If Christ is not risen from the dead, the long course of God’s redemptive acts to save his people ends in a dead-end street, in a tomb. If the resurrection of Christ is not reality, then we have no assurance that God is the living God, for death has the last word. Faith is futile because the object of that faith has not vindicated himself as the Lord of life. [George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament, 318.]

Melalui perkataannya itu, Ladd ingin menegaskan bahwa tidak cukup bagi siapapun untuk hidup semata-mata beriman pada satu pribadi Allah tanpa menghiraukan fakta kebangkitan Yesus Kristus. Iman kepada Allah tidak mungkin lepas dari iman kepada fakta bahwa Yesus Kristus telah bangkit dari kematian.

Meskipun demikian pentingnya arti kebangkitan itu, persoalan demi persoalan terus membayangi topik tersebut. Mulai sejak terjadinya peristiwa kebangkitan itu sampai hari ini, selalu ada saja pihak-pihak yang ingin menyangkali kebangkitan Yesus Kristus. Seperti apakah bentuk-bentuk penyangkalan terhadap kebangkitan Yesus Kristus dan bagaimana penulis Perjanjian Baru sendiri memaknai kebangkitan Kristus sebagai suatu berita yang penting bagi para pembacanya akan saya bahas dalam tulisan yang lain (Klik disini)


Kesimpulan

Kebangkitan Yesus Kristus jelas sekali merupakan sesuatu aspek yang sangat penting di dalam iman Kristen. Dan kebangkitan yang dimaksud oleh Alkitab, bukanlah suatu kebangkitan spiritual semata-mata di dalam diri para murid Tuhan melainkan sesuatu yang secara historis sungguh-sungguh telah terjadi.

Kebangkitan Yesus Kristus melahirkan iman para murid dan iman para murid melahirkan gereja. Sehingga kehidupan gereja saat ini tidak dapat lepas dari fakta historis kebangkitan Yesus Kristus.

Berbagai pertentangan mengenai kebangkitan itu sudah dikemukakan sejak pertama kali peristiwa itu terjadi, sebagaimana yang telah dibahas dalam tulisan ini, hingga abad Pencerahan dan bahkan sampai abad Postmodern sekarang ini. Tetapi tidak satupun dari tentangan itu yang pada akhirnya menemukan keberhasilan. Satu persatu keraguan dan pertentangan terhadap kebangkitan Yesus Kristus dapat dibungkamkan oleh kebenaran fakta kebangkitan itu sendiri.

Kegagalan para penentang dari segala zaman itu terletak pada sikap mereka yang mengabaikan begitu saja fakta-fakta yang terurai di dalam laporan pandangan mata para penulis Injil. Para penentang ini kemudian mengembangkan sendiri paham atau paradigma yang mereka anggap paling benar. Dan karena isi dari penentangan mereka sendiri hanya dikemas oleh suatu paradigma dan bukan didasarkan pada fakta-fakta yang kokoh, maka pada akhirnya tentangan mereka itu akan pupus sendiri dihadapan kebenaran fakta-fakta sejarah.

Sebagaimana yang telah dievaluasi dalam bagian awal tulisan ini, isi dari tentangan yang diajukan dari zaman ke zaman adalah bahwa kebangkitan Yesus Kristus tidak terjadi secara historis. Model tentangannya dapat berbeda-beda, kemasan yang dipakai untuk mengajukan tentangan juga dapat berbeda, tetapi intinya adalah sama. Berbicara mengenai aspek sejarah suatu peristiwa, seperti kebangkitan Yesus misalnya, Wolfhart Pannenberg mengemukakan pandangannya demikian: Historicity does not necessarily mean that what is said to have taken place historically must be like other known events. The claim to historicity that is inseparable from the assertion of the facticity of an event simply involves the fact that it happened at a specific time. [Wolfhart Pannenberg, Systematic Theology, Vol 2., trans Geoffrey W.Bromiley (Grand Rapids Michigan: Eerdmans Publishing Company, 1991), 360.]

Dalam pandangan Pannenberg, kebangkitan Yesus Kristus adalah peristiwa sejarah, sekalipun tidak atau belum ditemukan peristiwa lain yang serupa dengan itu. Pannenberg juga mengingatkan bahwa sejarah yang sedang berlangsung ini tidak dapat dijadikan sebagai ukuran terhadap nyata atau tidak nyatanya suatu peristiwa di masa lalu. Sebab masih selalu ada kemungkinan bahwa apa yang terjadi di masa lalu, akan terjadi pula secara nyata di masa mendatang.

Aspek eskatologis dari sejarah tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Hubungan antara kebangkitan Yesus Kristus, sifat historis dan eskatologis diterangkan oleh Pannenberg demikian: In the case of the resurrection of Jesus, all Christians must realize that the facticity of the event will be contested right up to the eschatological consummation of the world because its uniqueness transcends an understanding of reality that is oriented only to this passing world and because the new reality that has come in the resurrection of Jesus has not yet universally and definitevely manifested itself. Nevertheless, Christian faith maintains that the eschatological life of the resurrection of the dead has already become an event in the crucified Jesus. [Wolfhart Pannenberg, Systematic Theology, Vol 2., trans Geoffrey W.Bromiley (Grand Rapids Michigan: Eerdmans Publishing Company, 1991), 361.]

Berhasil atau tidaknya seseorang dalam merangkul berita kebangkitan Yesus Kristus sebagai sesuatu yang historis amat tergantung pada pengertian awal seseorang terhadap apa yang dimaksud dengan realitas. Pannenberg mengatakan: Our judgment regarding the historicity of the resurrection of Jesus depends not only on examining the individual data but also on our understanding of reality, of what we regad as possible or impossible prior to any evaluation of the details. In this regard Paul is right that if we donot think the dead can rise in any circumstances, then we cannot regard the resurrection of jesus as a fact, no matter how strong the evidence may be that supports it. We must concede, however, that a judgment of this type rests on a prior dogmatic decision and does not deserve to be called critical. [Wolfhart Pannenberg, Systematic Theology, Vol 2., trans Geoffrey W.Bromiley (Grand Rapids Michigan: Eerdmans Publishing Company, 1991), 362.]

Jika Pannenberg lebih cenderung membuat antisipasi terhadap dasar filosofis para penentang kebangkitan Yesus. Stanley J.Grenz melakukan antisipasi yang bersifat lebih teknis yaitu menelanjangi satu persatu isi dari tentangan terhadap kebangkitan. Terhadap berbagai teori anti-kebangkitan yang dibangun untuk menjelaskan kubur yang kosong, Grenz menjelaskan: The appeal to the empty tomb is controversial. Critics offer several other explanations for this phenomenon. Some suggest that the women being strangers in the city, went to the wrong tomb. In response, however, we note that many other persons, including the disciples, viewed the same tomb; it seems unlikely that so many would make the same mistake concerning where Jesus’ body had been laid. An ancient explanation is that the disciples of Jesus stole his body. This alternative seems unlikely insofar as the persons who purportedly perpetrated such a hoax were subsequently willing to die as martyrs for their declaration that Jesus was risen. The suggestion that the Jerusalem authorities took the body is even less plausible, for these same authorities could then have squelched the entire Christian movement by merely producing the body when the story of Jesus’ resurrection began to circulate in the city. Since the Enlightenment the theory that Jesus did not actually die but merely went into a swoom has repeatedly gained adherents. However, the unlikelihood that Jesus could even have survived the ordeal of the final hours of Passion Week, let alone have given the impression that he had conquered death, makes the swoon theory border on the incredible. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God, 258.]

Terhadap berbagai teori anti-kebangkitan yang dibangun untuk menjelaskan penampakan Yesus setelah kebangkitan, Grenz menjelaskan: Some suggest that the supposed appearances were fabrication. But the strength of this proposal is diminished by the appeal to living witnesses found in what may be the earliest assertion of the resurrection, that of Paul (1 Cor 15:3-8). Equally unsatisfying is the suggestion that the appearances were hallucination or subjective visions. The appearances of Jesus as described by the witnesses do not occur in the kinds of situations that are conducive to hallucination, namely, a strong inward desire or a predisposing outward setting. On the contrary, the followers of Jesus saw no hope of seeing Jesus again after his crushing death, and the setting of the appearances were varied in location and in time of day. Nor were these experiences merely subjective visions, for they were apprehended by several persons at the same time. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God, 258.] 

Kebangkitan dari kematian bukanlah sesuatu yang hanya terjadi pada Yesus Kristus saja, Alkitab Perjanjian Baru saja setidaknya mencatat seorang bernama Lazarus yang bangkit dari kematian dan para hari Yesus Kristus mati di kayu salib, Alkitab juga menyaksikan bahwa ada banyak orang yang bangkit dari mati. Keunikan dari kebangkitan Yesus Kristus adalah bahwa Dia telah mengatakan segala sesuatu yang akan terjadi pada diri-Nya dan secara sukses mengerjakan semua yang dikatakan-Nya, termasuk perihal kematian dan kebangkitan ini.

Gabungan antara klaim Pribadi untuk bangkit dari kematian dan kemampuan dalam melaksanakan kebangkitan itulah yang menjadi bukti kokoh bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi Manusia.

Kiranya melalui tulisan ini keyakinan kita terhadap Yesus Kristus yang telah mati untuk menebus dosa dan bangkit untuk memberi hidup yang kekal, dapat semakin diperkaya.