Showing posts with label Pertobatan. Show all posts
Showing posts with label Pertobatan. Show all posts

Sunday, May 22, 2022

Berdamai dengan Allah sebagai dasar bagi terciptanya perdamaian dunia

 


Ada pepatah mengatakan: “Seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.” Yang ingin disuarakan oleh pepatah ini adalah suatu hasrat untuk berdamai dengan semua orang. Memang sungguh menyenangkan bukan, jika kita bisa berdamai dengan semua orang. Akan tetapi mungkinkah kedamaian dengan sesama itu menjadi sesuatu yang dapat kita miliki? [Baca juga: Dimensi Kasih Allah. Klik disini.]

Peperangan antar negara, ketegangan antar kelompok, terus saja terjadi di dunia. Media massa tidak pernah kekurangan berita tentang pertikaian antar manusia, mulai dari skala suami istri yang pisah ranjang sampai pada skala bunuh-bunuhan antar saudara dan saling kirim rudal antar negara. Sulit dipungkiri, kebencian adalah warna dominan di dalam atmosfir bumi kita ini. [Baca juga: Iman Kristen bukanlah suatu kepercayaan yang buta. Klik disini.]

Alkitab pun tidak berusaha menutup-nutupi berbagai pertikaian di antara umat manusia. Mulai dari Adam dan Hawa yang berdebat tentang siapa yang paling bertanggungjawab atas perbuatan mereka memakan buah terlarang (dapatkah kita bayangkan betapa banyaknya pertengkaran yang kemudian muncul dalam beratus-ratus tahun usia pernikahan mereka?), dilanjutkan dengan Kain yang membunuh Habel, dan diteruskan oleh keturunan mereka yang hidup penuh kekerasan dan kekejian satu sama lain.

Generasi umat manusia yang ganas ini sempat ditenggelamkan Tuhan di dalam air bah ketika zaman Nuh. Tetapi, air bah boleh surut kembali, namun tidak demikian halnya dengan kebencian di antara umat manusia. Perjanjian Lama mencatat begitu banyak pertikaian dan pertentangan yang terjadi pasca air bah, bukan saja di tengah orang-orang yang tidak mengenal Tuhan tetapi juga di antara umat Allah.

Perjanjian Baru pun tidak menampakkan wajah yang lebih baik jika ditinjau dari sudut pandang hubungan antar manusia. Murid-murid Tuhan Yesus berdebat tentang siapa yang paling besar di antara mereka, lupa bahwa Guru mereka masih di situ. Tulisan-tulisan Paulus pun melukiskan bagi kita pertikaian-pertikaian yang terjadi di dalam jemaat Tuhan. Dan, seolah ingin setia pada tradisi, gereja sampai hari inipun tidak luput dari berbagai pertengkaran antar sesama umat percaya. Beberapa pertengkaran bahkan sampai pada tahap dead lock, tidak ada jalan keluarnya lagi. Jadi pertanyaannya, masih relevankah kita bicara tentang perdamaian?? Apalagi sampai bercita-cita jadi pembawa damai?? Apa yang menjadi faktor penting bagi pendamaian?

 

Arti Penting Berdamai dengan Allah

Pada dasarnya, kita tidak mungkin mengerti perdamaian yang sejati, jika kita tidak mengerti apa artinya didamaikan dengan Tuhan. Billy Graham pernah menulis sebuah buku yang laris sekali dan dibuatkan pula dalam versi traktat, judulnya Peace with God, Damai Dengan Allah. Buku ini menceritakan suatu kebenaran yang hakiki dari suatu perdamaian, yaitu damai dengan Allah, sebab dari sinilah perdamaian sejati bermula.

Sebagai manusia yang hidup di dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, kita bukan saja menjadi seteru bagi sesama kita,  tetapi juga (bahkan terutama) seteru bagi Allah. Alkitab mengajarkan pada kita sifat dosa yang memecah belah. Sehingga dalam artian tertentu, kita dapat melihat dosa sebagai lawan kata dari kasih, yaitu dimana dosa bersifat memecah belah, maka kasih bersifat mempersatukan.

Oleh karena itu, selama hidup manusia masih dilingkupi oleh dosa, pembicaraan tentang perdamaian adalah hal yang sia-sia belaka. Mengapa? Karena akar dari permusuhan itu sendiri belum dibereskan. Untuk dapat berdamai dengan sesama, pertama-tama kita harus berdamai dengan Allah. Dan untuk berdamai dengan Allah dibutuhkan iman. Itulah sebabnya saya mengatakan: “Iman adalah faktor penting bagi pendamaian.”

Di dalam kekristenan yang sejati, iman dimengerti sebagai suatu hubungan yang benar dengan Allah. Iman mempersatukan orang percaya dengan Kristus. Dengan kata lain, hanya ketika seseorang memiliki hubungan yang benar dengan Allah sajalah, maka orang itu boleh berharap dapat berdamai dengan manusia di dalam kedamaian sejati.

 

Kisah kekejaman manusia

Corrie tenBoom menggambarkan kekejaman perang melalui dalam buku “Ketika Tuhan tidak dapat Dimengerti” yang ditulisnya sebagai kesaksian hidupnya sendiri. Ini mengingatkan kita pada film “The Pianist,” yang juga melukiskan dengan gamblang kekejaman tentara Jerman pada orang Yahudi. Dalam salah satu adegan diperlihatkan sebuah keluarga Yahudi yang sedang makan malam, ketika serombongan tentara Jerman menendang pintu mereka. Dengan angkuhnya tentara-tentara itu memerintahkan keluarga ini berdiri. Salah satu anggota keluarga itu, sang kakek, duduk di kursi roda, jelas ia tak dapat berdiri. Namun hal ini membuat pemimpin tentara merasa terhina, ia memerintahkan orang tua renta itu diangkat dari kursi rodanya lalu dilemparkan keluar jendela. Keluarga itu tinggal di lantai empat (atau tiga, saya lupa persisnya), tentu dapat dibayangkan apa yang terjadi pada orang tua lumpuh itu. Tidak cukup sampai di situ, keluarga yang tadinya sedang makan malam ini ditembaki, satu orangpun tidak tersisa.

Meksipun itu cuma film, tapi pesannya jelas sekali yaitu kekejaman tiada ampun yang pernah sungguh-sungguh terjadi di bumi kita.[1] Bagi Corrie, kejadian seperti itu bukan sekedar film tetapi hal yang sungguh nyata terjadi pada hidupnya. Luput dari neraka Nazi dan tetap hidup adalah mukjizat. Tetapi mampu mengampuni seorang tentara Nazi yang membunuh keluarga sendiri? Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, bukan?

Tidak mudah juga tentu saja bagi Corrie, tetapi imannya telah menolong dia. Iman inilah, yaitu hubungan pribadinya dengan Allah yang telah memampukan dia untuk berdamai bahkan dengan musuh paling kejam sekalipun. Tidak ada langkah-langkah psikiater ataupun ahli psikologi yang mampu menolong kita melakukan tindakan yang “tidak masuk akal” ini. Tidak ada cara-cara manusiawi yang dapat menolong kita berdamai seperti itu. Seharusnya tentara itu disiksa sebagai balasan. Seharusnya keluarga tentara itu dibantai pula sebagai gantinya, tetapi mengampuni dia? “Oh Tuhan, sungguh ajaib perbuatan-Mu, sungguh tak terselami pikiran-pikiran-Mu, dimuliakanlah Nama-Mu!! Karena aku sendiri pun seorang bejat yang telah Kau-ampuni…”

Oleh karena itu, apabila kita ingin menjadi seorang pembawa damai? Yang harus pertama-tama kita tanyakan bukanlah: “Bagaimana caranya?” Tetapi: “Bagaimanakah hubunganku dengan Tuhan akhir-akhir ini?”

 

Tantangan yang berat bagi pembawa damai

Iman yang sehat memungkinkan kerohanian kita bertumbuh dengan sehat pula. Pada gilirannya, di dalam diri kita akan terbentuk pula karakter-karakter rohani yang baik, Alkitab menyebutnya sebagai buah Roh. Karakter tidak mungkin terbentuk dalam semalam, dibutuhkan Firman Tuhan untuk memupukinya dan ujian, kesulitan serta penderitaan untuk mengujinya.

Murid-murid Tuhan Yesus pun terlihat bukan sebagai tipe anak-anak manis yang duduk diam di bangku gereja. Pada masa-masa awal kehidupan bersama dengan Tuhan, mereka justru saling berdebat ingin menjadi yang paling hebat. Mereka heran melihat Tuhan Yesus sudi bergaul dengan orang Samaria. Mereka larang orang lain yang tidak ikut dalam kelompok mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Mereka sok berani tanpa benar-benar sadar apa yang mereka hadapi. Akhirnya mereka lari kocar-kacir karena takut ketika Guru mereka ditangkap.

Tetapi apa yang terjadi setelah iman mereka menjadi lebih dewasa? Mereka sungguh-sungguh berubah menjadi orang-orang yang mengubah dunia. Mereka rendah hati, mau bergaul dengan siapa saja, terbuka pada kelompok lain dan benar-benar pemberani. Sewaktu Tuhan Yesus masih ada di dunia, Yohanes muda pernah berharap agar ada api turun dari langit kepada orang-orang yang menolak berita mereka. Tetapi kelak Yohanes yang sama ini telah berubah menjadi orang yang sangat lembut, penuh kasih dan sayang.

Bagaimana hubungan kita dengan Tuhan akhir-akhir ini? Jangan biarkan kehidupan ini berlalu begitu saja tanpa pernah diperiksa. Saya setuju dengan Plato yang berkata: “Kehidupan yang tidak diperiksa tidak layak dijalani.” Di bagian awal tulisan ini, saya bertanya masih relevankah kita berbicara tentang perdamaian di tengah dunia yang berkecamuk dalam kebencian seperti ini? Jawabnya adalah sungguh relevan. Justru ketika hidup damai itu semakin hari semakin kabur, kita diperintahkan untuk menghidupkannya kembali.

Menjadi pembawa damai rupanya bukan pilihan bagi kita, yaitu sesuatu yang boleh dilakukan jika kita suka atau lupakan saja jika itu terlalu memberatkan. Menjadi pembawa damai adalah perintah Tuhan, itu adalah salah satu ciri atau karakteristik dari anak-anak Tuhan. Saya akui, senang sekali jadi anak Tuhan, tetapi jadi pembawa damai? Pernah suatu kali ketika saya sedang khusuk berdoa tentang sesuatu hal, tiba-tiba terlintas di kepala saya sosok seseorang yang saya tahu sangat senang menipu dan menjadi semacam duri dalam daging bagi hidup saya. Saya berhenti berdoa, justru ketika tiba-tiba ada dorongan untuk berdoa bagi orang yang menyebalkan ini. Saya tidak segera melanjutkan berdoa, melainkan bergumul dengan susah payah, haruskah aku berdoa bagi dia? Akhirnya setelah beberapa saat bergumul dengan diri saya sendiri, saya mulai berdoa bagi kebaikan orang itu. Sejujurnya saya akui, rasanya sakit sekali, tetapi Tuhan begitu berbelas kasih pada saya, makhluk hina ini, sehingga segera memberikan suatu sukacita ketika saya selesai melakukannya.

 

Kesimpulan

Tidak mudah memang menjadi pembawa damai, bahkan berdamai dengan diri kita untuk berdoa bagi orang yang tidak menyenangkan saja sudah sulit apalagi jika berhadapan secara muka dengan muka. Itu bukan pekerjaan enak seperti jalan-jalan di mall. Itu adalah ujian bagi iman kita sendiri. Apakah kita ingin taat?

Jika di summary-kan, maka tahapan yang biasanya perlu kita lalui sebelum menjadi pembawa damai adalah: berdamai dengan Allah, berdamai dengan diri sendiri (yaitu melalui panyangkalan diri) dan terakhir barulah berdamai dengan orang lain.

Jika kita tidak berusaha melewati tahap pertama dan kedua, niscaya akan sulit sekali melangkah ke tahap ketiga. Tahap pertama dan kedua terjadi dalam keheningan bersama Tuhan dan diri sendiri. Tahap ketiga adalah “melangkah keluar” dalam persekutuan dengan orang lain.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin. (Oleh: izar tirta).


[1] Lagipula, The Pianist diangkat dari kisah sebenarnya (based on true story). Tokoh yang dibicarakan dalam film ini punya nasib yang sama dengan Corrie tenBoom, yaitu satu-satunya yang tersisa dari seluruh anggota keluarganya yang terbantai.

Saturday, February 19, 2022

Rasa bersalah yang membawa kita pada pertobatan dan pengampunan

Eksposisi singkat Keluaran 43:15-34

 


Secara  ringkas

Kelaparan, kekurangan dan penderitaan telah memaksa saudara-saudara Yusuf datang ke Mesir dan tanpa mereka sangka-sangka, ternyata mereka justru bertemu dengan Yusuf adik mereka yang telah mereka jual sebagai budak.

Saudara-saudara Yusuf pernah melakukan kesalahan yang cukup besar, selayaknya mereka mendapat hukuman atas perbuatan tersebut. Akan tetapi Yusuf justru menunjukkan sikap pengampunan dan menerima mereka kembali.

Suatu hal yang perlu dicatat dalam kisah ini adalah bahwa saudara-saudara Yusuf sadar akan kesalahan mereka dan rasa bersalah itu menghantui mereka hingga pada saat mereka bertemu dengan Yusuf kembali. Meskipun mereka belum sadar bahwa orang yang mereka temui adalah Yusuf, tetapi mereka takut bahwa Allah akan membalas perbuatan mereka di masa lalu melalui pemimpin Mesir tersebut.

Rasa bersalah seperti itu tidak selalu harus dilihat sebagai hal yang negatif, sebaliknya kita perlu melihatnya sebagai hal yang positif, sebab hanya orang yang tahu bahwa dirinya bersalah itulah yang pada akhirnya dapat menghargai apa artinya diberi pengampunan.

Rasa bersalah yang dibawa ke hadapan Tuhan, akan diselesaikan oleh Tuhan melalui pengampunan. Dan jika orang itu sudah merasakan pengampunan yang diberikan oleh Tuhan, maka dari hatinya akan muncul cinta kasih kepada Tuhan dan juga cinta kasih kepada sesama. Orang yang telah merasakan pengampunan dari Tuhan, sewajarnya akan lebih mudah memberikan pengampunan pula kepada sesama yang bersalah.

 

Mari  MELIHAT  lebih  JAUH

 

Yusuf meminta kehadiran Benyamin

Benyamin adalah adik Yusuf yang sama-sama berasal dari satu ibu yaitu Rahel. Meskipun sudah terpisah lama, Yusuf ingin melihatnya dan ingin bertemu kembali dengan dia. Kasih persaudaraan adalah hal yang ditekankan di dalam Alkitab. Mengasihi saudara yang dekat adalah hal yang wajar dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kita orang percaya. Sebab bagaimana mungkin kita bisa mengasihi orang yang jauh atau yang tidak dikenal, apabila orang yang paling dekat dengan kita ternyata justru kurang dikasihi?

Yusuf kini sudah ada pada suatu posisi yang sangat baik, tetapi Yusuf tetap masih mengingat saudaranya. Ini mengingatkan kita agar ketika kita berada di posisi yang baik, biarlah kita juga ingat pada saudara-saudara kita yang masih dalam kesulitan. Janganlah kita asyik dengan diri kita sendiri, tetapi pikirkan pula bagaimana orang lain bisa ikut menikmati apa yang kita nikmati. Inilah salah satu prinsip hidup kristen yang penting.

Yusuf bisa menjadi sosok yang sangat egois apabila ia hanya memikirkan Benyamin, tetapi bukan cerita itu yang kita temukan di Alkitab. Selain melakukan kebaikan kepada Benyamin, Yusuf juga berbuat baik kepada saudara-saudaranya yang dulu pernah mencelakakan dia.

 

Saudara-saudara Yusuf mengembalikan uang yang diberikan kepada mereka

Dalam bagian sebelumnya, Yusuf menahan Simeon dan meminta saudara yang lain untuk pulang mengambil Benyamin. Simeon dipilih mungkin sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban perbuatannya kepada Yusuf dahulu. Di antara kedua belas saudara itu, sebetulnya Rubenlah yang paling tua, namun Ruben tidak ditahan karena Yusuf kini mengetahui bahwa Ruben dulu satu-satunya orang yang menentang perbuatan jahat saudara-saudara yang lain.

Ajaran Alkitab bukanlah ajaran yang tidak mementingkan perbuatan seseorang. Bahkan di hari penghakiman nanti, setiap orang akan dihakimi menurut perbuatannya, bukan menurut imannya saja. Tapi kita jangan keliru dalam memahami prinsip ini, iman memang adalah bagian yang sangat penting di dalam kekristenan, akan tetapi iman yang sejati pasti akan disertai dengan perbuatan yang sesuai pula dengan iman tersebut.

Paulus pernah mengatakan: Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, (Roma 2:6,7)

Yohanes pun berulang-ulang mencatat di dalam kitab Wahyu, tentang arti pentingnya perbuatan manusia di hadapan Tuhan. Salah satu dari catatan tersebut berbunyi seperti ini: Barangsiapa yang berbuat jahat, biarlah ia terus berbuat jahat; barangsiapa yang cemar, biarlah ia terus cemar; dan barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran; barangsiapa yang kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya!." "Sesungguhnya Aku datang segera dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya. (Wahyu 22:11-12)

Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena perbuatan, melainkan karena anugerah melalui iman. Iman adalah pintu masuk ke dalam hubungan dengan Allah, akan tetapi darimana kita tahu bahwa kita sudah ada di dalam hubungan yang benar dengan Allah? Jawabannya adalah dari perbuatan kita setelah kita mengaku beriman.

Selain menahan Simeon sebagai suatu bentuk tanggugjawab, Yusuf juga mengembalikan uang mereka yang semula dimaksudkan sebagai pembayaran atas makanan. Mengapa Yusuf melakukan hal ini?

Sangat mungkin ini dilakukan untuk menguji saudara-saudaranya dalam hal memilih prioritas di dalam kehidupan mereka. Dahulu kala, mereka tega untuk menjual Yusuf, mereka memilih uang ketimbang saudaranya sendiri. Apakah kali ini mereka akan memilih uang juga ketimbang Simeon?

 

Saudara-saudara Yusuf merasa takut dan heran

Setelah membawa uang untuk membeli makanan dan membawa Benyamin ke hadapan Yusuf, para saudara itu merasa heran karena mereka justru dibawa masuk ke dalam rumah dan bagi mereka disiapkan hidangan makan. Lebih dari itu, bahkan Yusuf sang pemimpin Mesir itupun berjanji untuk makan bersama-sama dengan mereka.

Mereka merasa takut karena mereka sadar keadaan diri mereka di hadapan pemimpin Mesir yang berkuasa, sebab mereka sendiri bukan orang yang berkuasa. Mereka juga sadar bahwa kondisi mereka yang sedang dilanda kelaparan itu, membuat mereka harus memposisikan diri di bawah orang yang punya kekuatan untuk menolong mereka dari bencana kelaparan tersebut.

Rasa takut, rasa kekurangan bahkan rasa bersalah, tidak selalu merupakan perasaan yang buruk. Sebab perasaan seperti itu, dapat dipakai Tuhan untuk membawa seseorang ke dalam kondisi yang lebih siap untuk menerima pengampunan. Tanpa adanya rasa takut, seseorang sulit merendahkan dirinya di hadapan orang lain. Tanpa adanya kekurangan, seseorang sulit mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Tanpa adanya rasa bersalah, seseorang bahkan akan mustahil mengharapkan pengampunan.

Rasa takut, rasa kekurangan dan rasa bersalah, memang bisa saja membawa orang ke arah yang negatif, yaitu apabila orang itu di dalam ketakutannya kehilangan pengharapan akan pertolongan dari pihak lain. Rasa kekurangan juga bisa membawa orang ke dalam kondisi serakah atau berusaha merampas milik orang lain. Dan rasa bersalah bisa membawa orang ke dalam depresi.

Kita perlu memiliki perasaan-perasaan seperti itu, tetapi terutama kita membutuhkan pertolongan Tuhan agar semua perasaan itu membawa kita ke dalam pertobatan dan pengampunan Ilahi.

 

Rasa takut yang keliru

Seperti disebutkan di atas, rasa takut bisa membawa seseorang ke arah yang positif, tetapi bisa pula membawa orang ke arah yang negatif. Dalam ayat 18 kita membaca bahwa rasa takut yang dimiliki oleh saudara-saudara Yusuf membawa mereka ke dalam sifat curiga yang berlebihan.

Mungkin karena mereka sendiri sadar bahwa mereka pernah berbuat kejahatan, maka mereka cenderung menyangka bahwa orang lainpun akan berbuat jahat sama seperti mereka. Atau mungkin pula mereka melihat bahwa inilah saatnya pembalasan Ilahi atas perbuatan mereka di masa lalu terhadap Yusuf.

Rasa takut kita yang disebabkan oleh perbuatan dosa, hanya dapat diselesaikan oleh pengampunan yang diberikan oleh Tuhan. Oleh karena itu, jika kita memiliki rasa takut yang seperti itu, tidak ada jalan lain kita harus bertobat dan datang kepada Tuhan untuk memohon pengampunan-Nya.

 

Allahmu dan Allah bapamu telah memberikan kepadamu

Cukup ironis membaca kalimat ini mengingat yang mengucapkannya justru adalah kepala rumah Yusuf yang secara tradisi dan agama merupakan orang yang tidak satu kepercayaan dengan saudara-saudara Yusuf.

Sebagai keluarga yang memiliki hubungan dekat dengan Allah, saudara-saudara Yusuf justru kurang mengenal dan kurang memahami belas kasihan dan pemberian Allah kepada mereka. Hingga harus diingatkan oleh orang lain yang sama sekali tidak memiliki hubungan keluarga dan tidak memiliki tradisi iman yang dikenal oleh keturunan Abraham ini.

Hal ini merupakan bukti bahwa anugerah umum Tuhan memang bisa menjangkau siapa saja di muka bumi ini. Kita sebagai orang yang memiliki anugerah khusus, sepantasnya memiliki kesaksian yang lebih baik tentang Allah ketimbang orang lain yang memiliki anugerah umum saja.

Melalui kepala pelayan Yusuf, kita belajar bahwa Allah adalah Dia yang memberi segala sesuatu kepada kita dengan tujuan agar kita juga dapat belajar untuk memberi. Saudara-saudra Yusuf kali ini tidak melakukan kesalahan seperti yang dahulu pernah mereka lakukan pada Yusuf. Mereka tidak mau menerima uang yang tidak patut mereka terima. Mereka kembalikan uang tersebut kepada yang seharusnya memilikinya.

 

Kemudian dikeluarkannyalah Simeon dan dibawanya kepada mereka

Simeon dikeluarkan setelah saudara-saudaranya yang lain melakukan apa yang diperintahkan oleh Yusuf kepada mereka dan setelah Yusuf menguji hati mereka terhadap uang. Ketaatan para saudara Yusuf untuk mengembalikan uang Yusuf dan membawa Benyamin ke Mesir, membuat Simeon layak dikeluarkan dari penjara dan di bawa kepada saudara-saudara yang lain.

Ada suatu harga yang harus dibayar  bagi kelepasan jiwa yang terpenjara. Dibutuhkan ketaatan saudara-saudaranya dan dibutuhkan belas kasihan pula dari orang yang memberi perintah tahanan.

Dalam kehidupan orang Kristen kita sudah sangat terbiasa dengan pemahaman tentang penebusan Tuhan Yesus sedemikian rupa sehingga kita merasa bahwa tindakan Tuhan itu sepertinya biasa-biasa saja. Kita jadi kurang menghargai dan kurang menghayati akan betapa besarnya pengorbanan Tuhan Yesus dan betapa menakutkannya nasib kita apabila Tuhan Yesus tidak membayar hutang-hutang dosa kita itu. Tanpa Kristus yang membayar dengan darah-Nya maka tidak ada kemungkinan bagi hidup kita untuk dilepaskan dari penjara dosa dan hukuman maut di dalam kekekalan.

Alkitab berulang kali menjelaskan bahwa ada harga yang harus dibayar oleh manusia yang berdosa untuk dapat bersekutu dengan Allah yang suci. Sama seperti yang digambarkan dalam kisah ini, ada harga yang harus dibayar oleh saudara-saudara Yusuf untuk dapat mengeluarkan Simeon dari penjara tersebut.

 

Lalu minumlah mereka dan bersukaria bersama-sama dengan dia

Saudara-saudara Yusuf pada akhirnya makan bersama Yusuf dan orang-orang Mesir. Mereka yang miskin dipersatukan dengan mereka yang kaya. Mereka yang berkekurangan, dipersatukan dengan mereka yang berkelimpahan. Dan meskipun mereka bukan orang Mesir, tetapi mereka mendapat kesempatan untuk makan bersama. Dan meskipun mereka bersalah di hadapan Yusuf, mereka tidak mendapat penghukuman, tetapi diterima dalam suatu persekutuan meja (table felowship) yang indah.

Ini adalah gambaran dari diri kita sendiri di hadapan Allah. Kita pun memiliki kesalahan, kita pun tidak patut untuk makan bersama-sama dengan Tuhan. Tetapi apabila kita bertobat dan kembali kepada Tuhan, maka Tuhan akan memberikan pengampunan dan memberi kesempatan untuk menikmati table fellowship bersama Dia selama-lamanya. (Oleh: Izar Tirta)

 

Ayat-ayat Firman Tuhan:

15 Lalu orang-orang itu mengambil persembahan itu dan mengambil uang dua kali lipat banyaknya, beserta Benyamin juga; mereka bersiap dan pergi ke Mesir. Kemudian berdirilah mereka di depan Yusuf.  16 Ketika Yusuf melihat Benyamin bersama-sama dengan mereka, berkatalah ia kepada kepala rumahnya: "Bawalah orang-orang ini ke dalam rumah, sembelihlah seekor hewan dan siapkanlah itu, sebab orang-orang ini akan makan bersama-sama dengan aku pada tengah hari ini."  17 Orang itu melakukan seperti yang dikatakan Yusuf dan dibawanyalah orang-orang itu ke dalam rumah Yusuf. 18 Lalu ketakutanlah orang-orang itu, karena mereka dibawa ke dalam rumah Yusuf. Kata mereka: "Yang menjadi sebab kita dibawa ke sini, ialah perkara uang yang dikembalikan ke dalam karung kita pada mulanya itu, supaya kita disergap dan ditangkap dan supaya kita dijadikan budak dan keledai kita diambil."  19 Karena itu mereka mendekati kepala rumah Yusuf itu, dan berkata kepadanya di depan pintu rumah:  20 "Mohon bicara tuan! Kami dahulu datang ke mari untuk membeli bahan makanan,  21 tetapi ketika kami sampai ke tempat bermalam dan membuka karung kami, tampaklah uang kami masing-masing dengan tidak kurang jumlahnya ada di dalam mulut karung. Tetapi sekarang kami membawanya kembali.  22 Uang lain kami bawa juga ke mari untuk membeli bahan makanan; kami tidak tahu siapa yang menaruh uang kami itu ke dalam karung kami."  23 Tetapi jawabnya: "Tenang sajalah, jangan takut; Allahmu dan Allah bapamu telah memberikan kepadamu harta terpendam dalam karungmu; uangmu itu telah kuterima." Kemudian dikeluarkannyalah Simeon dan dibawanya kepada mereka.  24 Setelah orang itu membawa mereka ke dalam rumah Yusuf, diberikannyalah air, supaya mereka membasuh kaki; juga keledai mereka diberinya makan.  25 Sesudah itu mereka menyiapkan persembahannya menantikan Yusuf datang pada waktu tengah hari, sebab mereka telah mendengar, bahwa mereka akan makan di situ.  26 Ketika Yusuf telah pulang, mereka membawa persembahan yang ada pada mereka itu kepada Yusuf di dalam rumah, lalu sujud kepadanya sampai ke tanah.  27 Sesudah itu ia bertanya kepada mereka apakah mereka selamat; lagi katanya: "Apakah ayahmu yang tua yang kamu sebutkan itu selamat? Masih hidupkah ia?"  28 Jawab mereka: "Hambamu, ayah kami, ada selamat; ia masih hidup." Sesudah itu berlututlah mereka dan sujud.  29 Ketika Yusuf memandang kepada mereka, dilihatnyalah Benyamin, adiknya, yang seibu dengan dia, lalu katanya: "Inikah adikmu yang bungsu itu, yang telah kamu sebut-sebut kepadaku?" Lagi katanya: "Allah kiranya memberikan kasih karunia kepadamu, anakku!"  30 Lalu segeralah Yusuf pergi dari situ, sebab hatinya sangat terharu merindukan adiknya itu, dan dicarinyalah tempat untuk menangis; ia masuk ke dalam kamar, lalu menangis di situ.  31 Sesudah itu dibasuhnyalah mukanya dan ia tampil ke luar. Ia menahan hatinya dan berkata: "Hidangkanlah makanan."  32 Lalu dihidangkanlah makanan, bagi Yusuf tersendiri, bagi saudara-saudaranya tersendiri dan bagi orang-orang Mesir yang bersama-sama makan dengan mereka itu tersendiri; sebab orang Mesir tidak boleh makan bersama-sama dengan orang Ibrani, karena hal itu suatu kekejian bagi orang Mesir.  33 Saudara-saudaranya itu duduk di depan Yusuf, dari yang sulung sampai yang bungsu, sehingga mereka berpandang-pandangan dengan heran.  34 Lalu disajikan kepada mereka hidangan dari meja Yusuf, tetapi yang diterima Benyamin adalah lima kali lebih banyak dari pada setiap orang yang lain. Lalu minumlah mereka dan bersukaria bersama-sama dengan dia. (Kejadian 43:15-34)