Thursday, April 28, 2022

Dimensi Kasih Allah

Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. (Efesus 3:18)


Kita semua tentu sudah sangat familiar tentang betapa besarnya kasih Allah pada kita. Kita dapat sedikitnya membayangkan betapa Allah begitu ingin dekat dengan kita. Hasrat kita untuk berdekatan dengan Dia, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hasrat Dia untuk dekat dengan kita. Sungguh luar biasa kasih Allah itu, mengingat bahwa kita semua adalah orang yang berdosa dan pada dasarnya tidak layak untuk berada dekat dengan Dia.

Dalam tulisan ini, kita akan merenungkan tentang pengertian dari dimensi kasih Allah yang amat besar itu. Apa yang dimaksud dengan kata “dimensi,” apa sih yang umumnya kepikir sama kita ketika mendengar kata itu? Ruang, betul sekali. Dan berbicara ruang, tentu tidak terlepas dari berbicara tentang panjang, lebar dan tinggi, iya kan? Ini tentu bukan berarti kasih Allah dapat disamakan dengan ruang, tetapi hanya sebuah upaya untuk memberi kita gambaran. Paling tidak rasul Paulus dalam suratnya ke Efesus juga memakai analogi ruang untuk menjelaskan kasih Allah - dalam hal ini Yesus Kristus - , yang sebetulnya cukup abstrak untuk dibayangkan bagi manusia. Mari kita coba tela’ah pengertian dari masing-masing unsur yang terdapat dalam  dimensi kasih itu.

 

Kasih Yesus adalah kasih yang Lebar :

Yoh 6:38 dan Why 5:9 mengajarkan pada kita bahwa Yesus tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan sukunya, bangsanya, kekayaannya, kebudayaan, status sosialnya atau apapun. Ia tidak pandang bulu. “Siapapun datang pada-Ku tidak akan Ku-buang,” kata-Nya.

 

Kasih Yesus adalah kasih yang Panjang :

Artinya : Dalam kasih-Nya, Allah panjang sabar terhadap kita. Roma 2:4,5 mengatakan bahwa sebelum kita bertobat, Allah telah panjang sabar menunggu kita bertobat. Ibrani 7:25 mengatakan bahwa Yesus dengan setia dan panjang sabar senantiasa menjadi pengantara bagi kita sebab setelah bertobat pun kita masih sering jatuh ke dalam dosa. Yesus bergumul dalam doa syafaat bagi pergumulan kita melawan dosa.

 

Kasih Yesus adalah kasih yang Tinggi :

Artinya: Ia memberikan pada kita status yang amat tinggi. Kasih-Nya membawa kita ke tempat yang tinggi. Yesus mendorong kita untuk menjadi pribadi yang berharga, Yesus tidak menjatuhkan orang lain, yang bersalah sekalipun. Efesus 2:5-6 mengajarkan bahwa saat inipun kita telah diberi posisi yang tinggi yaitu di sorga. Yoh 21:15-19 mengajarkan bahwa Petrus yang pernah gagalpun diberikan kepercayaan oleh Yesus. Ia meninggikan Petrus dan tidak membiarkan dia tenggelam dalam perasaan bersalah. Yoh 4 menunjukkan bahwa perempuan Samaria yang begitu dicela oleh masyarakat, diterima Yesus. Yesus, dalam kasih ilahi-Nya senang meninggikan orang lain yang hatinya remuk redam karena terpuruk dalam kegagalan.

 

Kasih Yesus adalah kasih yang Dalam :

Artinya: Kualitas atau kadar kasih-Nya begitu tak terselami. Bagaikan laut yang begitu dalam tidak diketahui dasarnya. Tidak ada batasnya. Kedalaman kasih-Nya ini menjadi motivasi bagi kasih-Nya yang panjang, yang lebar dan yang tinggi. Yoh 13:1 mengatakan bahwa Allah mengasihi sampai kesudahannya, atau sampai ke dasarnya. Di antara empat hal yang dijabarkan di atas, kasih yang dalam adalah yang barangkali paling sulit dibayangkan. Oleh karena itu untuk lebih mudahnya, saya akan coba jabarkan dimensi kasih yang dalam ini ke dalam sifat-sifatnya.

 

Sifat-sifat apakah yang terkandung dalam kasih Yesus yang dalam ini, sehingga sampai membawa-Nya ke kayu salib demi kita? Setidaknya ada empat sifat yang perlu kita ketahui dari kasih Yesus yang dalam ini, yaitu:

1.              Benevolence
2.              Grace
3.              Mercy
4.              Persistence

Berikut ini akan saya jabarkan secara singkat pengertian dari setiap istilah tersebut.

Benevolence

Kasih Allah bersifat benevolence artinya, Allah selalu memperhatikan kesejahteraan orang-orang yang dikasihinya. Benevolence sendiri berarti keinginan untuk berbuat baik pada orang lain. Sebenarnya hubungan kasih kita dengan Allah lebih bersifat antar sahabat daripada antar majikan dan pekerja (employee to employer). Seorang majikan memperhatikan kesejahteraan karyawannya sejauh ia bisa memberi manfaat bagi pekerjaan atau tugasnya. Tetapi seorang sahabat, seperti Yesus, memperhatikan karena Ia ingin memberikan yang terbaik, tanpa ada harapan akan pamrih.


Grace

Biasanya diterjemahkan sebagai kasih karunia. Kasih Allah pada kita diwujudkan dalam bentuk pemberian yang sebenarnya tidak layak kita terima. Hampir mirip dengan benevolence, hanya saja benevolence menekankan pada keinginan Allah untuk memberi. Grace menekankan pada ketidaklayakan orang yang menerima pemberian itu.

 

Mercy

Jika dalam Grace Allah memberikan keselamatan pada manusia sebagai hadiah yang tidak layak kita terima, maka dalam Mercy (biasanya diterjemahkan pengampunan) Allah memberikan pengampunan dan pemulihan status kita dari terhukum menjadi bebas hukuman.

 

Persistence

Artinya, Allah dalam kasih-Nya menolak untuk berhenti mengasihi. Allah bukanlah Pribadi yang sebentar mengasihi, sebentar kemudian kasih-Nya luntur karena sikap dan perbuatan kita. Kasihnya bersifat terus menerus (continue), tidak ditentukan oleh kondisi orang yang dikasihi. Kata persistence artinya menolak untuk menyerah (refuse to give up)


Kita sudah coba melihat beberapa hal penting dari kasih Allah pada kita. Tulisan ini dan sebelumnya secara singkat sudah memberikan gambaran tentang kasih itu. Akan tetapi semua ini adalah sia-sia, jika kita belum pernah merasakan kasih-Nya itu. Ada begitu banyak orang di dunia ini kelaparan kasih sayang. Mereka mencoba menaruh harapan agar dikasihi oleh orangtuanya atau suaminya atau istrinya atau pacarnya atau anak-anaknya atau pendetanya atau temannya, tetapi ternyata mereka semua akhirnya menyadari bahwa harapan mereka tidak selalu tercapai, sebab orang-orang yang mereka harapkan ternyata mengecewakan.

Manusia memang bisa mengecewakan, tetapi Allah tidak. Oleh karena itu, mari sandarkan harapan kita hanya kepada Allah saja. Kerahkanlah segala upaya kita untuk senantiasa dekat dengan Tuhan. Sebab Tuhan senantiasa rindu untuk bersama dengan kita.

Kita memang sering gagal melihat tangan-Nya yang lembut menuntun kita, akan tetapi bukan berarti bahwa Ia tidak peduli. Ia senantiasa peduli, hanya cara-Nya tidak selalu sama dengan yang kita harapkan. Ia senantiasa menyapa dan mengetuk hati kita, tetapi kita memang tidak selalu berhasil mendengar sapaan-Nya yang lembut itu.

Allah dalam setiap momen ingin berkomunikasi dengan kita. Ia terus mengetuk dan mengetuk, bagaikan bunyi jendela di malam hari yang lupa dikunci, digerakkan oleh angin menimbulkan suara ketukan tak henti, demikianlah Allah mengetuk. Ia menyapa lewat orang-orang yang ditimpa kesulitan, sakit penyakit. Ia menyapa kita lewat alam yang indah hari ini, baik ketika langit cerah maupun ketika mendung dan turun hujan. Ia ada di balik indahnya tangkai bunga yang mekar pagi ini. Ia menyapa kita lewat senyum dan tawa seorang bayi mungil yang kejadiannya begitu ajaib. Ia menyapa kita lewat nyanyian, lewat mimbar-Nya yang kudus, lewat hamba-hamba-Nya yang penuh kekurangan namun setia. Ia menatap mata kita lewat tulisan-tulisan, lewat puisi dan lukisan sambil berharap dapat melihat mata kita berbinar dan rindu kepada-Nya. Ia sapa kita lewat panggilan-Nya untuk melayani, sebagai bukti bahwa Ia percaya pada kita. Ia tahu bagaimana perasaan kita ketika mengalami banyak kesulitan pada saat melayani Dia. Oleh karena itu, biarlah Yesus, Allah kekal yang menjadi Manusia itu, menyatakan kasih-Nya yang dalam pada kita semua. Biarkan Ia menyatakan diri-Nya yang sebenar-Nya pada kita semua, dan mengganti topeng hitam yang kita buat untuk Dia.

Setelah melihat sekilas kasih Allah yang besar, marilah mulai sekarang kita lebih sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada-Nya. Bagaimana pun juga Ia layak mendapat penghormatan dan sembah sujud kita. Marilah mulai sekarang kita datang ke gereja bukan melulu untuk mendapat sesuatu bagi diri kita (penghiburan, kekuatan dan dukungan) tetapi juga untuk memberi puji dan hormat dari hati terdalam kita untuk Allah yang penuh kasih dan lemah lembut ini. Tuhan memberkati.

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin (Oleh: izar tirta).

 

Tuesday, April 26, 2022

Allah memberkati kita melalui pengetahuan sejati

Darimanakah sumber pengetahuan manusia?
Apa sajakah sumber pengetahuan manusia?
Mengapa manusia membutuhkan Wahyu Allah?
Sebuah renungan singkat dari Amsal 19:2

Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik (Amsal 19:2)

 

Allah memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang amat berharga. Hal itu tercermin dari bagaimana Alkitab, yang adalah Firman Allah, mengutarakan gagasan-gagasan positif tentang pengetahuan. Kitab Amsal misalnya, membahas 35 kali tentang pengetahuan untuk menekankan tentang betapa pentingnya hal tersebut bagi kita. Amsal 2:6 mengatakan: “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian,” Artinya, Allah sendiri-lah sumber segala pengetahuan dan hikmat itu. Dan Allah sebagai sumber pengetahuan ternyata tidak menutup-nutupi pengetahuan yang dimiliki-Nya, melainkan berkenan “mengajarkan pengetahuan kepada manusia.” (Mazmur 94:10)

Sebagai manusia, yang merupakan peta dan teladan Allah, kita pun memiliki sifat berpengetahuan seperti Allah. Manusia adalah satu-satunya makhluk di bumi ini yang memiliki pengetahuan yang tinggi. Sekuntum bunga yang sangat indah dan sangat anda kagumi, adalah makhluk yang boleh dikategorikan sebagai makhluk hidup (seperti halnya tanaman lain), akan tetapi tidak dapat digolongkan ke dalam makhluk yang berpengetahuan. Kita manusia dapat mengetahui bahwa bunga itu ada, tetapi bunga itu tidak dapat mengetahui bahwa kita ada, bahkan dia tidak dapat mengetahui bahwa dirinya ada. Pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan.

Binatang pun tidak dapat kita golongkan ke dalam makhluk yang berpengetahuan sekalipun kita dapat melihat bahwa mereka dapat mengetahui sesuatu. Memang dibandingkan tumbuhan, hewan adalah makhluk yang memiliki kualitas yang lebih tinggi karena memiliki otak. Akan tetapi tidak mungkin pengetahuan binatang dapat disejajarkan dengan pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai peta dan teladan Allah. Binatang barangkali memang dapat berpikir dan mengetahui sesuatu akan tetapi mereka hanya sampai pada taraf itu. Mereka hanya bertindak secara naluri, misalnya naluri mencari pasangan, naluri mencari makanan dan naluri mengatasi bahaya (entah melawan entah kabur). Binatang tidak mungkin dapat mencari makna atau nilai dari apa yang ada dipikirannya. Itu sebabnya, tidak ada ajaran moralitas dalam dunia binatang. Binatang juga tidak mempunyai suatu hasrat untuk maju, memakai otaknya untuk mendapatkan taraf hidup yang lebih baik atau pun menciptakan karya-karya agung demi kreativitas yang dimilikinya. Dan bahkan lebih dari itu, binatang tidak mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang transenden, spiritual atau ilahi seperti manusia. Pengetahuan adalah unik dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang dicipta seturut gambar dan teladan Allah.

 

Berbagai macam sumber pengetahuan manusia

Manusia dapat mengetahui segala sesuatu karena mempunyai otak. Hewan juga memiliki otak, akan tetapi seperti sudah disebutkan tadi, terdapat perbedaan kualitatif dan kuantitatif antara otak manusia dengan otak hewan. Di dalam otak manusia itulah segala pengetahuan dikumpulkan, diproses dan diberi makna. Dokter Paul Brand, seorang ahli bedah tangan dan penyakit kusta di India, menulis tentang otak di dalam bukunya, demikian:

Tengkorak … adalah kubah granit yang nyaris tidak bisa ditembus, yang menutup rapat otak pemiliknya dari setiap usikan sensasi, suhu, kelembaban, atau gangguan lain di dunia luar. Namun paradoksnya, di dalam otak yang sama ini, terkandung seluruh pengetahuan orang tentang dunia luar, berkat saraf-saraf putih rapuh yang memanjang ke dalamnya.[1]

Memang benar jika dikatakan bahwa pengetahuan kita berkaitan erat dengan sistim saraf yang kita miliki dan sistim saraf sendiri berkaitan erat dengan indera yang kita miliki, akan tetapi sesungguhnya pengetahuan manusia tidaklah semata-mata bergantung pada sistim saraf.

 

Paling tidak ada empat sumber utama bagi pengetahuan manusia, yaitu:

Pertama: Pengalaman

Manusia dapat mengetahui sesuatu karena sudah pernah mengalaminya sendiri. Pengetahuan semacam ini amat bergantung/berkaitan erat dengan panca indra yang ia miliki. Sebagai contoh: Kita dapat mengetahui bahwa es mempunyai suhu yang dingin dengan cara memegang sendiri es tersebut. Apa yang kita alami di sampaikan oleh sistim saraf kita kepada otak, sehingga otak akhirnya memiliki pengetahuan tentang sesuatu.

Kedua: Penalaran

Manusia juga dapat mengetahui sesuatu berdasarkan daya nalarnya. Daya nalar adalah suatu kemampuan untuk melakukan proses pengolahan informasi di dalam otak. Seseorang dapat mengetahui sesuatu meskipun belum pernah mengalaminya. Sebagai contoh: Kita tahu bahwa jika seseorang jatuh dari gedung berlantai dua puluh maka orang itu pastilah mati. Bagaimana kita mengetahuinya? Tentu saja bukan karena kita sudah pernah mengalami hal itu. Karena jika kita mencoba untuk mengalaminya, kita pastilah tidak sempat lagi bercerita pada orang lain. Kita dapat tahu hal itu, karena otak kita dapat bernalar tentang kejadian itu sekalipun tidak secara langsung mengalaminya.

Ketiga: Intuisi

Intuisi adalah suatu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang manusia sekalipun tanpa pengalaman dan (nyaris) tanpa usaha apa-apa dari pikiran. Lorens Bagus, seorang Doktor di bidang Filsafat menjelaskan intuisi sebagai:

Daya (kemampuan) untuk memiliki pengetahuan segera dan langsung tentang sesuatu tanpa menggunakan rasio. Pengetahuan atau pemahaman bawaan, naluriah tanpa menggunakan panca indera, pengalaman biasa atau akalbudi kita.[2]

Sebagai contoh: kemampuan bermain musik. Dalam percakapan sehari-hari kita kadang mengatakan bahwa kita bisa bermain musik karena “feeling.” Ini sah-sah saja jika dipakai dalam percakapan sehari-hari, akan tetapi kata yang tepat untuk “feeling” semacam ini sebenarnya adalah intuisi. Termasuk di dalam contoh intuisi adalah pengetahuan secara langsung dari otak kita bahwa lingkaran bukanlah segitiga atau bahwa hitam bukanlah putih.

 

Namun manusia tetap membutuhkan Wahyu Allah

Ketiga sumber pengetahuan yang disebutkan di atas adalah milik manusia, artinya sudah ada di dalam diri kita masing-masing. Akan tetapi sumber pengetahuan semacam ini sama sekali tidak cukup jika ingin mencapai pengetahuan yang sejati tentang Allah. Pengetahuan kita begitu terbatas, bagaimana mungkin dapat mencapai keberadaan Allah yang tidak terbatas? Bahkan Roma 3:11 mengatakan bahwa “tidak ada seorang pun yang berakal budi.” Artinya, akalbudi manusia sudah tidak mampu lagi untuk mengenal dirinya secara utuh. Bahkan tidak mampu mengenal Allah yang telah menciptakannya. Hal ini disebabkan karena manusia sudah jatuh ke dalam dosa. Akal budi yang merupakan bagian dari diri manusia sudah tercemar oleh dosa. Dan karena natur dari dosa adalah memisahkan manusia dari Allah, maka akal budi yang tercemar dosa pun akhirnya tidak mampu membawa manusia untuk kembali kepada pengenalan akan Allah. Manusia dapat merasakan dan merindukan sesuatu yang ilahi, tetapi tanpa tindakan anugrah dari Allah, manusia tidak mungkin dapat mencapai pengetahuan tentang Allah yang sejati. Kondisi manusia yang tidak mengenal Allah adalah kondisi yang mengenaskan, yaitu binasa. Alkitab berkata: “Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah” (Hosea 4:6)

Sampai di sini, kita dapat melihat dua fakta yang nampaknya saling bersebrangan, yaitu di satu sisi manusia butuh pengenalan akan Allah, tetapi di sisi lain manusia dalam segala keberadaannya tidak mempunyai sumber pengetahuan apa pun di dalam dirinya sendiri untuk mengenal Allah. Itulah sebabnya, manusia membutuhkan sumber pengetahuan yang ke empat yaitu Wahyu dari Allah.

Dalam bahasa Inggris Wahyu disebut sebagai Revelation. To reveal artinya me-nyata-kan atau dengan kata lain membuat menjadi nyata. Jadi Wahyu dapat kita mengerti seperti ini: “Di dalam keberadaan-Nya yang melampaui segala kemampuan manusia untuk mengenal dan mengerti, Allah akhirnya mengambil inisiatif untuk membuat diri-Nya menjadi nyata bagi manusia.”

Ada dua macam Wahyu yang dikenal melalui ajaran Alkitab, yaitu Wahyu Umum dan Wahyu Khusus. Namun karena keterbatasan ruang, maka pembahasan mengenai kedua hal itu akan kita lakukan pada tulisan-tulisan mendatang.

 

Penutup

Tulisan ini memang dibuat dengan tujuan sebagai suatu pengantar bagi pemahaman yang lebih jauh tentang Wahyu Allah. Dan Yesus Kristus, yang kelahiran-Nya kita renungkan pada setiap bulan Natal itu, tidak lain dan tidak bukan adalah pe-nyata-an[3] paling puncak dari Allah kepada manusia.

Semoga melalui uraian ini, kita semakin bertumbuh dalam pengenalan terhadap Yesus Kristus yang adalah Tuhan dan Juruselamat kita.

Tuhan Yesus memberkati (Oleh: izar tirta).


[1] Paul Brand dan Philip Yancey, Sesuai Gambar-Nya (Batam: Interaksara, 2001), 141.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 364.
[3] Pe-nyata-an berbeda dengan pernyataan. Pernyataan adalah mengekspresikan sesuatu pikiran melalui kata-kata. Pe-nyata-an lebih luas dari pernyataan. Isi dari pe-nyata-an dapat berupa pernyataan, tetapi dapat pula dalam bentuk yang lain.