Darimanakah sumber
pengetahuan manusia?
Apa sajakah sumber
pengetahuan manusia?
Mengapa manusia membutuhkan
Wahyu Allah?
Sebuah renungan singkat
dari Amsal 19:2
Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik (Amsal 19:2)
Allah memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang amat berharga. Hal itu tercermin dari bagaimana Alkitab, yang adalah Firman Allah, mengutarakan gagasan-gagasan positif tentang pengetahuan. Kitab Amsal misalnya, membahas 35 kali tentang pengetahuan untuk menekankan tentang betapa pentingnya hal tersebut bagi kita. Amsal 2:6 mengatakan: “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian,” Artinya, Allah sendiri-lah sumber segala pengetahuan dan hikmat itu. Dan Allah sebagai sumber pengetahuan ternyata tidak menutup-nutupi pengetahuan yang dimiliki-Nya, melainkan berkenan “mengajarkan pengetahuan kepada manusia.” (Mazmur 94:10)
Sebagai manusia, yang merupakan peta dan teladan Allah, kita pun memiliki sifat berpengetahuan seperti Allah. Manusia adalah satu-satunya makhluk di bumi ini yang memiliki pengetahuan yang tinggi. Sekuntum bunga yang sangat indah dan sangat anda kagumi, adalah makhluk yang boleh dikategorikan sebagai makhluk hidup (seperti halnya tanaman lain), akan tetapi tidak dapat digolongkan ke dalam makhluk yang berpengetahuan. Kita manusia dapat mengetahui bahwa bunga itu ada, tetapi bunga itu tidak dapat mengetahui bahwa kita ada, bahkan dia tidak dapat mengetahui bahwa dirinya ada. Pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan.
Binatang pun tidak dapat kita golongkan ke dalam makhluk yang berpengetahuan sekalipun kita dapat melihat bahwa mereka dapat mengetahui sesuatu. Memang dibandingkan tumbuhan, hewan adalah makhluk yang memiliki kualitas yang lebih tinggi karena memiliki otak. Akan tetapi tidak mungkin pengetahuan binatang dapat disejajarkan dengan pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai peta dan teladan Allah. Binatang barangkali memang dapat berpikir dan mengetahui sesuatu akan tetapi mereka hanya sampai pada taraf itu. Mereka hanya bertindak secara naluri, misalnya naluri mencari pasangan, naluri mencari makanan dan naluri mengatasi bahaya (entah melawan entah kabur). Binatang tidak mungkin dapat mencari makna atau nilai dari apa yang ada dipikirannya. Itu sebabnya, tidak ada ajaran moralitas dalam dunia binatang. Binatang juga tidak mempunyai suatu hasrat untuk maju, memakai otaknya untuk mendapatkan taraf hidup yang lebih baik atau pun menciptakan karya-karya agung demi kreativitas yang dimilikinya. Dan bahkan lebih dari itu, binatang tidak mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang transenden, spiritual atau ilahi seperti manusia. Pengetahuan adalah unik dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang dicipta seturut gambar dan teladan Allah.
Berbagai macam sumber pengetahuan manusia
Manusia dapat mengetahui segala sesuatu karena mempunyai otak. Hewan juga memiliki otak, akan tetapi seperti sudah disebutkan tadi, terdapat perbedaan kualitatif dan kuantitatif antara otak manusia dengan otak hewan. Di dalam otak manusia itulah segala pengetahuan dikumpulkan, diproses dan diberi makna. Dokter Paul Brand, seorang ahli bedah tangan dan penyakit kusta di India, menulis tentang otak di dalam bukunya, demikian:
Tengkorak … adalah kubah granit yang nyaris tidak bisa ditembus, yang menutup rapat otak pemiliknya dari setiap usikan sensasi, suhu, kelembaban, atau gangguan lain di dunia luar. Namun paradoksnya, di dalam otak yang sama ini, terkandung seluruh pengetahuan orang tentang dunia luar, berkat saraf-saraf putih rapuh yang memanjang ke dalamnya.[1]
Memang benar jika dikatakan bahwa pengetahuan kita berkaitan erat dengan sistim saraf yang kita miliki dan sistim saraf sendiri berkaitan erat dengan indera yang kita miliki, akan tetapi sesungguhnya pengetahuan manusia tidaklah semata-mata bergantung pada sistim saraf.
Paling tidak ada empat sumber utama bagi pengetahuan manusia, yaitu:
Pertama: Pengalaman
Manusia dapat mengetahui sesuatu karena sudah pernah mengalaminya sendiri. Pengetahuan semacam ini amat bergantung/berkaitan erat dengan panca indra yang ia miliki. Sebagai contoh: Kita dapat mengetahui bahwa es mempunyai suhu yang dingin dengan cara memegang sendiri es tersebut. Apa yang kita alami di sampaikan oleh sistim saraf kita kepada otak, sehingga otak akhirnya memiliki pengetahuan tentang sesuatu.
Kedua: Penalaran
Manusia juga dapat mengetahui sesuatu berdasarkan daya nalarnya. Daya nalar adalah suatu kemampuan untuk melakukan proses pengolahan informasi di dalam otak. Seseorang dapat mengetahui sesuatu meskipun belum pernah mengalaminya. Sebagai contoh: Kita tahu bahwa jika seseorang jatuh dari gedung berlantai dua puluh maka orang itu pastilah mati. Bagaimana kita mengetahuinya? Tentu saja bukan karena kita sudah pernah mengalami hal itu. Karena jika kita mencoba untuk mengalaminya, kita pastilah tidak sempat lagi bercerita pada orang lain. Kita dapat tahu hal itu, karena otak kita dapat bernalar tentang kejadian itu sekalipun tidak secara langsung mengalaminya.
Ketiga: Intuisi
Intuisi adalah suatu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang manusia sekalipun tanpa pengalaman dan (nyaris) tanpa usaha apa-apa dari pikiran. Lorens Bagus, seorang Doktor di bidang Filsafat menjelaskan intuisi sebagai:
Daya (kemampuan) untuk memiliki pengetahuan segera dan langsung tentang sesuatu tanpa menggunakan rasio. Pengetahuan atau pemahaman bawaan, naluriah tanpa menggunakan panca indera, pengalaman biasa atau akalbudi kita.[2]
Sebagai contoh: kemampuan bermain musik. Dalam percakapan sehari-hari kita kadang mengatakan bahwa kita bisa bermain musik karena “feeling.” Ini sah-sah saja jika dipakai dalam percakapan sehari-hari, akan tetapi kata yang tepat untuk “feeling” semacam ini sebenarnya adalah intuisi. Termasuk di dalam contoh intuisi adalah pengetahuan secara langsung dari otak kita bahwa lingkaran bukanlah segitiga atau bahwa hitam bukanlah putih.
Namun manusia tetap membutuhkan Wahyu Allah
Ketiga sumber pengetahuan yang disebutkan di atas adalah milik manusia, artinya sudah ada di dalam diri kita masing-masing. Akan tetapi sumber pengetahuan semacam ini sama sekali tidak cukup jika ingin mencapai pengetahuan yang sejati tentang Allah. Pengetahuan kita begitu terbatas, bagaimana mungkin dapat mencapai keberadaan Allah yang tidak terbatas? Bahkan Roma 3:11 mengatakan bahwa “tidak ada seorang pun yang berakal budi.” Artinya, akalbudi manusia sudah tidak mampu lagi untuk mengenal dirinya secara utuh. Bahkan tidak mampu mengenal Allah yang telah menciptakannya. Hal ini disebabkan karena manusia sudah jatuh ke dalam dosa. Akal budi yang merupakan bagian dari diri manusia sudah tercemar oleh dosa. Dan karena natur dari dosa adalah memisahkan manusia dari Allah, maka akal budi yang tercemar dosa pun akhirnya tidak mampu membawa manusia untuk kembali kepada pengenalan akan Allah. Manusia dapat merasakan dan merindukan sesuatu yang ilahi, tetapi tanpa tindakan anugrah dari Allah, manusia tidak mungkin dapat mencapai pengetahuan tentang Allah yang sejati. Kondisi manusia yang tidak mengenal Allah adalah kondisi yang mengenaskan, yaitu binasa. Alkitab berkata: “Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah” (Hosea 4:6)
Sampai di sini, kita dapat melihat dua fakta yang nampaknya saling bersebrangan, yaitu di satu sisi manusia butuh pengenalan akan Allah, tetapi di sisi lain manusia dalam segala keberadaannya tidak mempunyai sumber pengetahuan apa pun di dalam dirinya sendiri untuk mengenal Allah. Itulah sebabnya, manusia membutuhkan sumber pengetahuan yang ke empat yaitu Wahyu dari Allah.
Dalam bahasa Inggris Wahyu disebut sebagai Revelation. To reveal artinya me-nyata-kan atau dengan kata lain membuat menjadi nyata. Jadi Wahyu dapat kita mengerti seperti ini: “Di dalam keberadaan-Nya yang melampaui segala kemampuan manusia untuk mengenal dan mengerti, Allah akhirnya mengambil inisiatif untuk membuat diri-Nya menjadi nyata bagi manusia.”
Ada dua macam Wahyu yang dikenal melalui ajaran Alkitab, yaitu Wahyu Umum dan Wahyu Khusus. Namun karena keterbatasan ruang, maka pembahasan mengenai kedua hal itu akan kita lakukan pada tulisan-tulisan mendatang.
Penutup
Tulisan ini memang dibuat dengan tujuan sebagai suatu pengantar bagi pemahaman yang lebih jauh tentang Wahyu Allah. Dan Yesus Kristus, yang kelahiran-Nya kita renungkan pada setiap bulan Natal itu, tidak lain dan tidak bukan adalah pe-nyata-an[3] paling puncak dari Allah kepada manusia.
Semoga melalui uraian ini, kita semakin bertumbuh dalam pengenalan terhadap Yesus Kristus yang adalah Tuhan dan Juruselamat kita.
Tuhan Yesus memberkati (Oleh: izar tirta).[1] Paul
Brand dan Philip Yancey, Sesuai
Gambar-Nya (Batam: Interaksara, 2001), 141.
[2] Lorens
Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta:
Gramedia, 1996), 364.
[3]
Pe-nyata-an berbeda dengan pernyataan. Pernyataan adalah
mengekspresikan sesuatu pikiran melalui kata-kata. Pe-nyata-an lebih luas dari pernyataan.
Isi dari pe-nyata-an dapat berupa pernyataan, tetapi dapat pula dalam
bentuk yang lain.