Showing posts with label Roma. Show all posts
Showing posts with label Roma. Show all posts

Thursday, June 16, 2022

Tidak ada yang benar, seorangpun tidak

Sebuah renungan singkat dari Roma 3:10
Mengapa tidak ada seorang manusia pun yang benar?

 


Melalui Roma 3:10, rasul Paulus mengingatkan kita akan status kita di hadapan Allah sebagai makhluk yang bersalah. Perkataan Paulus ini merupakan kutipan yang diambil dari Mazmur 14:3 yang berbunyi: Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.

Baca juga:

Seperti apakah iman Kristen yang sehat dan sejati itu? Klik disini.
Jika Tuhan memanggilmu hari ini apakah engkau siap? Klik disini.
 

Manusia secara objektif [1] sudah salah di hadapan Tuhan. Seperti halnya 2 + 2 = 5 secara objektif adalah keliru, demikian pula manusia secara objektif adalah keliru di hadapan Allah. “Dosa” adalah istilah Indonesia, dalam istilah bahasa asli Alkitab Perjanjian Baru, yaitu bahasa Yunani, kata yang dipakai adalah “hamartia” yang artinya meleset (dari sasaran).

Manusia tidak diciptakan untuk dihukum karena dosa. Manusia tidak diciptakan untuk melanggar perintah Allah. Manusia tidak diciptakan untuk terpisah dari Allah. Jadi ketika pelanggaran telah memisahkan manusia dengan Allah, maka kondisi itu telah meleset atau tidak sesuai dengan tujuan semula. Sama seperti sebuah pisau dapur tidak diciptakan untuk membunuh. Ketika pisau itu dipakai untuk membunuh, maka pisau itu sudah menyimpang dari tujuan semula ia diciptakan.

Dari sejak dalam kandungan sampai mati berkalang tanah, manusia keturunan Adam dan Hawa adalah pribadi-pribadi yang sudah meleset, tidak sesuai lagi dengan tujuan penciptaan. “Tidak ada yang benar”, berarti secara kualitas, secara status, secara objektif sudah tidak benar. Raja Daud pernah mengungkapkan hal seperti ini: Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. (Mazmur 51:5)

Istilah “tidak ada yang benar” lebih mendasar atau mendalam daripada “tidak ada yang berbuat benar”. Contohnya begini [2], di Indonesia pada umumnya kita makan dengan alat bantu sendok dan garpu. Dan pada umumnya sendok dipegang tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Iya kan? Jika kita memegang sendok secara terbalik, gagangnya mengarah pada nasi dan bagian yang lebarnya kita pegang, maka itu disebut tidak berbuat benar. Tetapi paling tidak memilih sendok untuk alat bantu makan sudah benar. Tinggal perilakunya saja yang perlu diperbaiki. Jika kita memegang sendok di tangan kiri dan garpu di tangan kanan, itu juga disebut tidak berbuat benar. Akan tetapi jika kita memilih untuk memegang handphone di tangan kanan dan memegang setrika uap di tangan kiri ketika kita mau makan, maka itu disebut tidak benar, pilihan yang keliru, meleset. Tidak peduli bahwa cara kita memegang handphone dan setrika itu sudah benar, secara objektif kedua benda itu sudah tidak tepat, tidak benar. Manusia di hadapan Allah adalah seperti itu, tidak ada kualitas yang ada dalam dirinya yang dapat membuat ia dikatakan benar.

Jadi sekarang, jika kita melihat ada seseorang yang kelihatan rajin berbuat kebaikan, rajin beramal, tidak pernah mengganggu orang lain dst, kita perlu ingat bahwa orang semacam ini secara objektif tetap keliru. Seperti handphone yang kita pegang ketika kita makan, tidak peduli betapa bagusnya dia, tidak peduli bahwa kita sudah memegang dia dengan benar, dia tetap saja merupakan alat yang keliru jika dikaitkan dengan tujuan makan.

 

Mengapa tidak ada seorangpun yang benar?

Manusia yang telah salah secara objektif dapat pula diumpamakan seseorang yang menaiki sebuah tangga yang benar dengan cara yang benar tetapi di dinding yang salah. Misalnya kita melihat bahwa ada sebuah rumah kebakaran dan ada seseorang di jendela yang tidak dapat turun karena terjebak api. Kita lalu berusaha menolong, dengan mencari sebuah tangga yang cukup kuat untuk menahan beban dan cukup panjang untuk sampai ke jendela tersebut. Setelah itu kita berusaha naik, dengan cara yang benar, satu demi satu anak tangga ditapaki hingga tiba di puncak. Tetapi ketika sampai di puncak, kita baru sadar bahwa tangga itu telah disandarkan di bangunan yang keliru, bukan di depan jendela yang hampir terbakar tadi, tetapi di tempat lain. Inilah yang disebut keliru secara objektif. Inilah yang disebut meleset. Dan seperti inilah kondisi manusia, “tidak ada yang benar, seorangpun tidak”

Apa yang disampaikan oleh Paulus ini memiliki keselarasan dengan apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus melalui Yohanes, yaitu misalnya yang tercatat dalam Yohanes 3:18, yang berbunyi: Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.

Perhatikan bahwa orang yang tidak percaya itu dikatakan telah berada di bawah hukuman. Hal ini menunjukkan bahwa dari semula mereka memang sudah dianggap sebagai orang yang tidak benar sehingga berada di dalam status sebagai orang yang berada di bawah hukuman.

 

Kesimpulan

Manusia tidak mungkin dapat menghindar dari hukuman Ilahi karena sejak lahir pun mereka sudah ada di dalam status bersalah di hadapan Allah. Tanpa adanya Tindakan Tuhan yang menebus manusia, maka tidak ada kemungkin bagi manusia untuk dibebaskan dari hukuman Ilahi.

Kita bersyukur bahwa Tuhan Yesus telah menyediakan jalan keselamatan itu melalui kematian-Nya di atas kayu salib. Biarlah kita percaya kepada Kristus yang telah menyelamatkan kita itu.

Tuhan Yesus memberkati. (Oleh: Izar Tirta).


[1]  Kata ini saya maksudkan untuk membedakannya dengan istilah subjektif, yaitu tergantung pada subjek yang memberi penilaian. Objektif berarti ia memiliki nilai tersebut pada dirinya sendiri, tidak tergantung pada penilaian yang diberikan oleh subjek lain di luar dirinya. Kata ini boleh juga dipahami atau disejajarkan dengan istilah intrinsik. Contoh : Emas secara objektif lebih mulia dari besi. Emas memiliki nilai intrinsik yang lebih tinggi dari besi. Manusia lebih mulia dari binatang. Allah lebih mulia dari segala ciptaan.

[2]  Contoh ini hanya untuk menjelaskan tentang apakah yang dimaksud dengan kekeliruan objektif. Tentu saja tidak sepersis-persisnya dengan apa yang terjadi pada manusia, tetapi paling tidak semoga dapat memberi gambaran. Contoh ini juga mempunyai keterbatasan dari sisi kebiasaan atau kebudayaan (misalnya ; tidak semua orang memakai sendok ketika makan).

 

Tuesday, May 31, 2022

Realitas keberdosaan seluruh umat manusia



Melalui tulisan yang sebelumnya, kita diajak untuk melihat realitas manusia sebagai makhluk yang mulia, gambar dan citra Allah. (Klik disini).

Bahkan Tuhan nampak begitu senang dan puas ketika memandangi semua ciptaan itu, termasuk manusia, sampai-sampai Ia berkomentar bahwa “segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” (Kej 1:31) Dan Allah benar bahwa manusia telah diciptakan dalam keadaan yang sungguh amat baik. Akan tetapi, peristiwanya tidak berhenti sampai di situ saja. Sebab kemudian manusia jatuh ke dalam dosa, manusia melanggar perintah Allah. Dan manusia harus menanggung konsekuensi yang berat sebagai akibat dari dosa.

Alkitab mencatat:

Lalu firman-Nya kepada manusia itu “Karena engkau mendengarkan perkataan istrimu dan memakan dari buah pohon yang telah Kuperintahkan kepadamu : Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu; … dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Lalu TUHAN Allah mengusir dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil. (Kej 3:17,19 dan 23).

Bukan saja manusia harus hidup bersusah payah, tetapi bahkan lebih mengerikan dari itu manusia diusir oleh Allah. Manusia terpisah dari Allah.

Manusia bukan satu-satunya makhluk yang mendapat hukuman dari Allah karena dosa, tetapi bahkan tanah pun (bila ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas, maksudnya adalah bumi ini) ikut dikutuk karena dosa yang dilakukan oleh manusia. Betapa luas dan mengerikannya dampak dosa bagi kehidupan. [Baca juga: Dampak keberdosaan manusia bagi alam sekitar. Klik disini.]

Dewasa ini, ada sejumlah orang yang memandang realitas manusia dengan ungkapan semacam ini : “yach manusia kan pada dasarnya baik ..” Ungkapan seperti ini memang enak didengar bukan? Namun sayangnya hal itu tidak benar. Jika ungkapan itu diucapkan sebelum saat Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, maka ungkapan itu benar. Tetapi karena kata-kata tersebut dilontarkan pada masa setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka kata itu menjadi tidak tepat. [Baca juga: Apakah manusia itu pada dasarnya baik? Klikdisini.]

 

Semua manusia telah berada di bawah kutukan Allah

Sejak manusia pertama jatuh ke dalam dosa dan dihukum serta diusir oleh Allah, maka seluruh keturunannya ikut mendapat kutukan. Dan karena kita adalah keturunan dari mereka, maka kitapun ikut mendapat kutukan tersebut. Alkitab mengungkapkan fakta sedih ini sebagai berikut :

“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang karena semua orang telah berbuat dosa.” (Roma 5:12)

Semua orang telah berbuat dosa, karena semua orang telah ada di bawah status berdosa di hadapan Allah. Jadi, sekarang ini kita adalah pendosa oleh karena itu kita secara natur pasti adalah pembuat dosa. Kita tidak bisa lepas dari kutukan untuk berbuat dosa itu, karena ia telah menempel pada atribut kemanusiaan kita secara objektif atau secara status.

Untuk lebih mudahnya, kita bayangkan sebuah perumpamaan berikut ini (walau tidak sepersis-persisnya dengan apa yang terjadi pada kita), misalnya seseorang telah dikutuk menjadi seekor ayam. Maka setelah itu, semua keturunannya pasti adalah ayam. Seberapa keraspun ayam itu berupaya, ia tidak akan pernah lagi menjadi manusia. Tidak ada suatu kualitaspun yang terdapat dalam diri si ayam yang mampu mengubah status tersebut. Kecuali jika kutukan itu dicabut, yang berarti dibutuhkan sebuah tindakan dari luar diri si ayam dan oleh subyek lain selain ayam tersebut.

Manusia telah dikutuk di bawah hukum dosa oleh Allah. Maka semua keturunan manusia itu menjadi pendosa pula. Tidak ada kualitas apapun dalam diri manusia yang mampu mengubah status tersebut, kecuali melalui suatu tindakan dari luar diri manusia. Tindakan seperti inilah yang disebut anugerah. [Baca juga: Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan. Klik disini.]

Tidak ada seorangpun di dunia ini (selain Manusia Yesus Kristus) yang luput dari dosa. Raja Daud bahkan mengatakan bahwa manusia sudah berdosa sejak di dalam kandungan, ia menulis : “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku.” (Mazmur 51 : 7) Dan tidak ada seorangpun yang secara jujur dapat mengatakan bahwa dirinya tidak berdosa di hadapan Tuhan. Alkitab mengatakan hal tersebut demikian : “Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” (1 Yoh 1:8)

Dosa dalam arti luas bukan saja berarti melakukan apa yang dilarang Allah, tetapi jika seseorang tidak melakukan apa yang diperintahkan-Nya pun juga termasuk dosa. Dan dosa tidak hanya meliputi perbuatan tetapi juga perkataan dan bahkan pikiran.

Dosa tidak bersifat subjektif, dosa bukan sebatas perasaan atau bahkan pikiran. Dosa bersifat objektif dan manusia secara status ada di dalam dosa, hidup di dalam natur dosa.

Dalam satu hari kita tidak akan tahu persis berapa banyak kita telah berdosa. Para ahli psikologi mengatakan bahwa manusia cenderung melupakan 90% dari kesalahannya. Jadi akan sulit bagi kita untuk mengingat-ngingat telah berapa kali dalam satu hari kita berbuat dosa. Selain itu, kitapun tidak selalu mengetahui tindakan mana yang merupakan dosa, tindakan mana yang bukan dosa. Sebagai contoh : Ada sebagian orang yang mengira berbohong demi kebaikan adalah benar. Padahal itu keliru. Berbohong adalah dosa, sekalipun ditujukan untuk kebaikan.

 

Perbuatan baik tidak dapat membatalkan dosa yang telah kita lakukan

Untuk lebih jelasnya, mari kita pikirkan perumpamaan ini : Jika seseorang berdosa tiga kali saja dalam satu hari, maka dalam satu bulan sudah ada 90 dosa. Dalam satu tahun jumlahnya sudah mencapai 1.080 dosa atau katakanlah 1.000 dosa. Jika orang itu meninggal dalam usia 80 tahun, maka dia akan menghadap Tuhan yang Mahaadil dengan 80.000 dosa di dalam dirinya!! Padahal itu cuma tiga kali dalam satu hari. Bayangkan, apa yang terjadi pada kita yang dapat dipastikan telah berdosa lebih banyak dari tiga kali dalam sehari!! Di dalam suatu pengadilan, seseorang sudah dapat dijatuhkan hukuman demi satu kesalahan saja. Tidakkah Allah juga pantas melemparkan kita ke dalam Neraka, demi kesalahan sebanyak itu??!!

Sekalipun dalam hidup ini kita banyak berbuat baik, hal tersebut tidak dapat membatalkan dosa yang telah kita buat. Perbuatan baik yang kita buat itu bahkan sudah tercemar. Kita tentu tidak akan mau makan telur dadar yang terbuat dari 9 telur baik dan 1 telur busuk bukan? Sebab sekalipun telur busuknya hanya satu, tetapi ia telah mencemari 9 telur yang lain. Demikian pula kita, sekalipun telah banyak berbuat baik, namun kita bahkan lebih banyak lagi berbuat dosa. Di hadapan Allah semua itu menjadi campuran yang berbau busuk. Tidak sesuai dengan standar  Allah yang sempurna, seperti ada tertulis : “Karena itu haruslah kamu sempurna seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Matius 5:48).

Segala kesulitan, bencana, malapetaka, penderitaan yang sekarang ini ada di dalam dunia kita, adalah akibat dari dosa manusia kepada Allah. Jika kita membaca surat kabar, kita lihat ada begitu banyak perbuatan kriminal, ada begitu banyak ketidakadilan, ada begitu banyak konflik antar manusia. Bahkan dunia olahraga yang dikenal sportifpun tidak luput dari tindakan kriminal. Dosa telah begitu merajalela di dalam kehidupan manusia. Manusia telah tenggelam di dalam dosa, tidak mungkin ia dapat menyelamatkan diri sendiri. Sama seperti orang yang tenggelam di air, tidak mungkin dapat selamat dengan cara menarik-narik rambutnya sendiri. Tidak ada yang menantikan manusia berdosa kecuali hukuman kekal, “sebab upah dosa ialah maut” (Roma 6:23)

 

Karya Keselamatan dari Allah untuk manusia

Untuk memahami bagaimana tindakan penyelamatan yang Allah kerjakan bagi manusia agar manusia terhindar dari hukuman kekal, mari membaca beberapa tulisan lain, yaitu:

 Kiranya Tuhan Yesus berbelas kasihan pada kita. Amin. (Oleh: izar tirta).