Friday, December 31, 2021

Apakah kebangkitan Yesus Kristus satu-satunya kisah kebangkitan yang pernah ada?

 


Pendahuluan

Apakah kebangkitan Yesus Kristus merupakan satu-satunya kisah kebangkitan yang pernah ada? Jawabannya adalah tidak. Dan tulisan ini mencoba memperlihatkan kisah-kisah kebangkitan lain baik yang tercatat di dalam Alkitab maupun yang berkembang di dalam kebudayaan di luar Alkitab.

 

Orang modern mengira hanya Yesus Kristus yang bangkit

Ada beberapa tulisan saya yang membahas tentang kebangkitan Yesus Kristus :
Arti penting kebangkitan Yesus Kristus dari kematian. [Klik disini]
Menentang berita Kebangkitan Yesus Kristus. [Klik disini]
Mengapa manusia mempertanyakan berita kebangkitan Yesus Kristus? [Klik disini]
Kisah penemuan kubur yang diduga milik Yesus Kristus. [Klik disini]

Dan di dalam salah satu dari tulisan tersebut, saya sempat menyinggung tentang sikap orang-orang yang hidup di abad Pencerahan terhadap berita kebangkitan. Pada abad itu, manusia semakin tidak menghargai perkataan Tuhan karena mereka terlalu percaya pada kemampuan mereka sendiri di dalam memahami kebenaran.

Tidak dapat diragukan lagi bahwa berita kebangkitan adalah berita yang paling dikritik oleh manusia di abad Pencerahan tersebut. Mereka menganggap bahwa berita kebangkitan Kristus bukanlah sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi di dalam Sejarah, sebab mereka tidak bisa menemukan padanan dari peristiwa itu dengan pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.

Agaknya persoalan para kritikus itu adalah bahwa mereka terlalu yakin bahwa sebuah kisah baru dapat diakui sebagai kebenaran, apabila kisah atau narasi tersbut sesuai dengan pengalaman kehidupan manusia sehari-hari.

Gagasan semacam ini diperkenalkan mulai abad 18, yaitu oleh Gotthold Ephraim Lessing, seorang berkebangsaan Jerman yang dikenal sebagai penulis, filsuf, penerbit, kritikus seni dan praktisi drama. Ia hidup antara tahun 1729 – 1781.

Alister E.McGrath, seorang teolog Kristen, pernah menguraikan cara pandang GE Lessing demikian: Lessing denied that human testimony to a past event (such as the resurrection) was sufficient to make it credible if it appeared to be contradicted by present day direct experience, no matter how well documented the original event may have been. [Alister E. McGrath, Christian Theology, 360]

Jadi Lessing percaya bahwa pengalaman kehidupan sehari-hari adalah faktor penentu yang utama dalam menentukan kebenaran sebuah peristiwa di masa lalu. Jadi jika sebuah narasi terdengar sangat asing bagi kehidupan sehari-hari yang dapat ditemui manusia, maka narasi itu boleh diragu-ragukan, atau bahkan ditolak sama sekali sebagai sebuah berita kebenaran.

Kerangka berpikir seperti yang dimiliki oleh Lessing bertumbuh subur di dalam era Pencerahan yang menekankan pada otonomi manusia.

McGrath menjelaskan: Central theme of the Enlightenment: human autonomy. Truth is not something which demands to be accepted on the basis of an external authority. There are no contemporary analogs for the resurrection. Resurrection is not an aspect of modern-day experience. Resurrection is little more than a misunderstood non-event. [Alister E. McGrath, Christian Theology, 377]

Jika kita memahami bagaimana semangat zaman Pencerahan beserta asumsi-asumsinya, maka mungkin tidaklah terlalu mengherankan jika zaman ini menolak kebangkitan Yesus Kristus sebagai suatu peristiwa sejarah.

 

Beberapa kisah kebangkitan selain kisah kebangkitan Yesus Kristus:

 

Kisah kebangkitan di Perjanjian Lama

TUHAN mendengarkan permintaan Elia itu, dan nyawa anak itu pulang ke dalam tubuhnya, sehingga ia hidup kembali. (1 Raja-raja 17:22)

Ya, TUHAN, orang-orang-Mu yang mati akan hidup pula, mayat-mayat mereka akan bangkit pula. Hai orang-orang yang sudah dikubur di dalam tanah bangkitlah dan bersorak-sorai! Sebab embun TUHAN ialah embun terang, dan bumi akan melahirkan arwah kembali. (Yesaya 26:19)

(1) Lalu kekuasaan TUHAN meliputi aku dan Ia membawa aku ke luar dengan perantaraan Roh-Nya dan menempatkan aku di tengah-tengah lembah, dan lembah ini penuh dengan tulang-tulang. (2) Ia membawa aku melihat tulang-tulang itu berkeliling-keliling dan sungguh, amat banyak bertaburan di lembah itu; lihat, tulang-tulang itu amat kering. (3) Lalu Ia berfirman kepadaku: "Hai anak manusia, dapatkah tulang-tulang ini dihidupkan kembali?" Aku menjawab: "Ya Tuhan ALLAH, Engkaulah yang mengetahui!" (4) Lalu firman-Nya kepadaku: "Bernubuatlah mengenai tulang-tulang ini dan katakanlah kepadanya: Hai tulang-tulang yang kering, dengarlah firman TUHAN! (5) Beginilah firman Tuhan ALLAH kepada tulang-tulang ini: Aku memberi nafas hidup di dalammu, supaya kamu hidup kembali. (6) Aku akan memberi urat-urat padamu dan menumbuhkan daging padamu, Aku akan menutupi kamu dengan kulit dan memberikan kamu nafas hidup, supaya kamu hidup kembali. Dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN." (Yehezkiel 37:1-6)

 

Kisah kebangkitan di Perjanjian Baru

(11) Kemudian Yesus pergi ke suatu kota yang bernama Nain. Murid-murid-Nya pergi bersama-sama dengan Dia, dan juga orang banyak menyertai-Nya berbondong-bondong. (12) Setelah Ia dekat pintu gerbang kota, ada orang mati diusung ke luar, anak laki-laki, anak tunggal ibunya yang sudah janda, dan banyak orang dari kota itu menyertai janda itu. (13) Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: "Jangan menangis!" (14) Sambil menghampiri usungan itu Ia menyentuhnya, dan sedang para pengusung berhenti, Ia berkata: "Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!" (15) Maka bangunlah orang itu dan duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya. (Lukas 7:11-15)

(35) Ketika Yesus masih berbicara datanglah orang dari keluarga kepala rumah ibadat itu dan berkata: "Anakmu sudah mati, apa perlunya lagi engkau menyusah-nyusahkan Guru?" (36) Tetapi Yesus tidak menghiraukan perkataan mereka dan berkata kepada kepala rumah ibadat: "Jangan takut, percaya saja!" (37) Lalu Yesus tidak memperbolehkan seorangpun ikut serta, kecuali Petrus, Yakobus dan Yohanes, saudara Yakobus. (38) Mereka tiba di rumah kepala rumah ibadat, dan di sana dilihat-Nya orang-orang ribut, menangis dan meratap dengan suara nyaring. (39) Sesudah Ia masuk Ia berkata kepada orang-orang itu: "Mengapa kamu ribut dan menangis? Anak ini tidak mati, tetapi tidur!" (40) Tetapi mereka menertawakan Dia. Maka diusir-Nya semua orang itu, lalu dibawa-Nya ayah dan ibu anak itu dan mereka yang bersama-sama dengan Dia masuk ke kamar anak itu. (41) Lalu dipegang-Nya tangan anak itu, kata-Nya: "Talita kum," yang berarti: "Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!" (42) Seketika itu juga anak itu bangkit berdiri dan berjalan, sebab umurnya sudah dua belas tahun. Semua orang yang hadir sangat takjub. (Markus 5:35-42)

(43) Dan sesudah berkata demikian, berserulah Ia dengan suara keras: "Lazarus, marilah ke luar!"  (44) Orang yang telah mati itu datang ke luar, kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kapan dan mukanya tertutup dengan kain peluh. Kata Yesus kepada mereka: "Bukalah kain-kain itu dan biarkan ia pergi." (Yohanes 11:43-44)

(50) Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya. (51) Dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah, (52) dan kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah meninggal bangkit. (Matius 27:50-52)

(9) Seorang muda bernama Eutikhus duduk di jendela. Karena Paulus amat lama berbicara, orang muda itu tidak dapat menahan kantuknya. Akhirnya ia tertidur lelap dan jatuh dari tingkat ketiga ke bawah. Ketika ia diangkat orang, ia sudah mati. (10) Tetapi Paulus turun ke bawah. Ia merebahkan diri ke atas orang muda itu, mendekapnya, dan berkata: "Jangan ribut, sebab ia masih hidup." (11) Setelah kembali di ruang atas, Paulus memecah-mecahkan roti lalu makan; habis makan masih lama lagi ia berbicara, sampai fajar menyingsing. Kemudian ia berangkat. (12) Sementara itu mereka mengantarkan orang muda itu hidup ke rumahnya, dan mereka semua merasa sangat terhibur. (Kisah Rasul 20:9-12)

 

Kisah kebangkitan lain di luar Alkitab

Kisah kebangkitan dari kematian bukan merupakan satu-satunya kisah yang disampaikan oleh Alkitab. Agama lain atau kebudayaan lain pun memiliki kepercayaan terhadap narasi kebangkitan dari kematian.

Agama-agama di Kanaan dan Mesir memiliki kisah kebangkitan dari dewa Baal dan dewa Osiris.

Agama Yunani kuno juga memiliki kisah kebangkitan dari kematian. Asclepius dibunuh oleh Zeus namun dibangkitkan kembali. Achilles juga pernah terbunuh namun akhirnya bangkit kembali. Demikian pula Memnon yang mati terbunuh oleh Achilles, pada akhirnya bangkit kembali.

Agama Budha juga memiliki kisah kebangkitannya sendiri, yaitu melalui kisah-kisah tradisi Zen yang berkembang di India maupun di Cina.

Kisah kebangkitan di dalam agama Hindu berupa sebuah tradisi atau cerita rakyat (folklore) tentang seorang wanita bernama Savitri yang menyelamatkan suaminya. Atau dalam kisah Ramayana, dimana Rama meminta kepada dewa Indra untuk membangkitkan kembali nyawa para kera yang mati dalam pertempuran melawan Rahwana.

Agama Islam pun dikabarkan memiliki kepercayaan terhadap adanya kebangkitan dari kematian. Dimana kebangkitan (Qiyamah) itu ditentukan oleh Allah sendiri dan tidak diketahui oleh manusia.

 

Keunikan Kisah Kebangkitan Kristus

Meskipun berbagai kepercayaan di dunia memiliki kisah kebangkitannya masing-masing, kebangkitan Yesus Kristus memiliki suatu keunikan dibandingkan dengan kisah kebangkitan yang lain, yaitu:

Kebangkitan Yesus Kristus memiliki tujuan yang spesifik yaitu mengalahkan kematian demi menebus orang-orang yang percaya.

Kebangkitan Yesus Kristus sudah disampaikan kepada manusia, lama sebelum peristiwa itu terjadi oleh para nabi. Dan sesaat sebelum hal itu terjadi, Yesus Kristus sendiri mengumumkan kematian dan kebangkitan-Nya ke pada para murid-Nya, sebagai sebuah penegasan akan kepastian dari peristiwa tersebut.

Kebangkitan Yesus Kristus memiliki dampak yang global, merupakan harapan bagi umat manusia, sebab melalui kebangkitan-Nya itu, Yesus Kristus memberi manfaat yang pasti dan berkaitan dengan kehidupan orang percaya.

Di dalam Kristus yang telah bangkit itulah harapan umat manusia digantungkan. Di dalam Kristus yang telah bangkit itulah kita bisa yakin bahwa suatu saat kelak, kitapun akan dibangkitkan.

Tuhan Yesus memberkati kita. Amin. (Oleh: Izar Tirta)

Monday, December 27, 2021

Kepastian kebenaran catatan Alkitab melampaui literatur klasik apapun

 


Apakah berita tentang keberadaan Yesus Kristus dapat dipercaya?
Atau jangan-jangan cuma mitos?

Orang-orang modern serta masyarakat ilmiah pada era di mana kita hidup saat ini, pada umumnya akan merasa bangga sekali apabila mereka merasa mengetahui sesuatu tentang Socrates, Plato ataupun Aristoteles. Ketiga filsuf Yunani itu memang dianggap sebagai orang-orang yang begitu penting di dalam mempengaruhi budaya berpikir di dalam dunia Barat, bahkan sampai ke Asia dan juga ke Indonesia.

 

Namun apabila kita membandingkan antara catatan yang membicarakan tentang Plato dengan catatan yang membicarakan tentang Yesus Kristus, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat tidak dapat dibandingkan (uncomparable) antara satu dengan lainnya. Catatan tentang Plato terlalu minim sehingga terlihat begitu tidak berarti (immaterial) apabila dibandingkan dengan catatan tentang Yesus Kristus.

 

Plato hidup pada tahun 427-347 SM, sedangkan manuskrip tertua hasil karya Plato semasa hidupnya yang saat ini kita miliki adalah berasal dari tahun 895 M. Sehingga ada keterpisahan sekitar 1242 tahun antara manuskrip tertua dengan karya yang dulu dikerjakan oleh Plato.

 

Demikian pula karya-karya Aristoteles yang dibuat pada era sekitar 384 – 322 SM. Manuskrip tertua yang dimiliki hingga saat ini, berasal dari tahun 1100 Masehi. Ada suatu keterpisahan sekitar 1400 tahun antara manuskrip yang ada, dengan periode dimana tulisan itu dibuat.

 

Sehingga sangat wajar jika seandainya kita ragu-ragu akan keberadaan Plato dan Aristoteles di dunia ini. Apakah Plato dan Aristoteles adalah pribadi-pribadi yang pernah ada di dalam sejarah? Bagaimana jika mereka ternyata hanya tokoh khayalan manusia saja? Bagaimana jika apa yang mereka tuliskan itupun ternyata keliru isinya?

 

Di bawah ini kita akan melihat komentar dari seorang cendekiawan tentang tingkat kepastian dari kebenaran Alkitab, yaitu ditinjau dari informasi tentang:

Sejarah penulisannya

Jumlah catatannya

Rentang waktu antara peristiwa dan catatan atas peristiwa tersebut

 

Kepastian Alkitab dari sejarah penulisannya

 

Frederic G.Kenyon adalah seorang berkebangsaan Inggris yang memiliki keahlian dalam bidang  palaeography yaitu suatu bidang studi yang mempelajari dan menyelidiki tulisan-tulisan kuno dan bersejarah. Dalam proses penyelidikannya itu, seorang ahli seperti Kenyon akan cenderung melihat kepada proses terbentuknya sebuah tulisan, ketimbang mendalami isi atau substansi dari tulisan itu sendiri. Tetapi jika berbicara tentang Alkitab, pandangan Kenyon dapat diandalkan karena ia juga diakui sebagai salah seorang cendekiawan di bidang Alkitab dan cendekiawan di bidang karya-karya tulis klasik (biblical and classical scholar).

 

Tentang informasi mengenai sejarah penulisannya, Kenyon berpendapat bahwa keaslian Alkitab sangat memuaskan apabila ditinjau dari betapa banyaknya informasi akan sejarah penulisan tersebut. Selengkapnya ia menulis:

 

The Bible being to us what it is, it is of the highest importance that we should be satisfied of the authenticity of the title-deeds of our faith; that we should be able to accept them, not with a blind and unintelligent belief, but with a clear understanding of the manner in which the several books came into existence, and of the means by which they have been handed down to us. The history of the Bible text is a romance of literature, though it is a romance of which the consequences are of vital import; and thanks to the succession of discoveries which have been made of late years, we know more about it than of the history of any other ancient book in the world. [Frederic G Kenyon, The Story of the Bible: A Popular Account of How it Came to Us. (London: J. Murray, 1936). 2nd edition with supplementary material by F.F. Bruce, 1964. Chapter 1]

 

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari, pendapat Kenyon di atas adalah sebagai berikut: Adalah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kita untuk merasa puas terhadap keaslian atau terhadap sifat otentik dari iman kita, sedemikian rupa sehingga kita harus menerima Alkitab bukan dengan keyakinan yang buta dan tanpa aspek intelegensia sama sekali, melainkan menerima Alkitab itu dengan suatu pemahaman yang jelas tentang bagaimana sebuah kumpulan dari buku-buku itu akhirnya bisa muncul dan dapat kita terima saat ini.

 

Selanjutnya Kenyon menambahkan bahwa penemuan-penemuan yang baru (terhadap sejarah penulisan Alkitab) membuat kita dapat mengetahui lebih banyak tentang sejarah Alkitab itu, daripada sejarah dari tulisan kuno manapun di dunia.

 

Pengertian sederhananya begini:

Informasi tentang bagaimana Alkitab itu ditulis, dipelihara dan akhirnya tiba di zaman kita saat ini begitu banyak dan begitu gamblang. Tidak ada yang ditutup-tutupi prosesnya oleh siapapun. Tulisan lain yang bukan Alkitab tidak memiliki sejarah penulisan yang sama banyaknya dengan Alkitab. Sehingga jika Alkitab saja sampai diragu-ragukan, maka sepatutnya kita juga ragu-ragu terhadap tulisan klasik lainnya yang tidak memiliki sejarah penulisan sejelas Alkitab.

 

Kepastian Alkitab dari jumlah catatannya

 

Selanjutnya Frederic G.Kenyon juga mengomentari bahwa jumlah manuskrip dari penulis klasik sangat jauh di bawah manuskirp Alkitab. Ia mengatakan: And while the manuscripts of any classic author amount at most to a few score, and in some cases only to a few units, the manuscripts of the Bible are reckoned by thousands. Their very quantity adds to the difficulties of an editor, since the more the manuscripts the greater the number of various readings; but they make the authenticity of the works themselves overwhelmingly certain. [Frederic G Kenyon, The Story of the Bible: A Popular Account of How it Came to Us. (London: J. Murray, 1936). 2nd edition with supplementary material by F.F. Bruce, 1964. Chapter 3]

 

Dalam bahasa sehari-hari pendapat Kenyon di atas adalah: Sementara jumlah manuskrip dari tulisan klasik lainnya terbilang sedikit atau terdiri dari beberapa unit saja, manuskrip Alkitab justru tersedia dalam jumlah ribuan.

 

Jumlah yang sangat banyak dari manuskrip Alkitab ini tentu saja membuat Alkitab semakin sulit untuk dipalsukan, karena jika ada manuskrip yang isinya berbeda dengan manuskrip lain, maka dengan mudah para ahli akan melihatnya dan memperbandingkannya.

 

Meskipun manuskrip Alkitab sedemikian banyak, dan memiliki berbagai variasi di dalam penulisan, tetapi isi atau pesannya adalah sama sehingga keaslian dari tulisan itu sangat dapat dipercaya.

 

Kepastian Alkitab dari rentang waktu penulisan dan usia manuskrip tertua

 

Kenyon juga mengomentari interval yang sangat besar antara tanggal penulisan dan tanggal manuskrip tertua yang masih ada. Di mana untuk manuskrip klasik di luar Alkitab, memiliki interval yang sangat jauh.

 

For all other classical writers, the interval between the date of the author and the earliest extant manuscript of his works is much greater. For Livy it is about 500 years, for Horace 900, for most of Plato 1,300, for Euripides 1,600. [Frederic G Kenyon, The Story of the Bible: A Popular Account of How it Came to Us. (London: J. Murray, 1936). 2nd edition with supplementary material by F.F. Bruce, 1964. Chapter 3]

 

Dalam komentarnya tersebut Kenyon menjelaskan betapa jauhnya rentang waktu antara tanggal penulisan dan tanggal manuskrip paling akhir yang saat ini masih ada. Tulisan Plato misalnya, memiliki rentang waktu sampai 1300 tahun antara tanggal penulisan (yaitu perkiraan Plato hidup) dengan usia manuskrip tertua yang dimiliki orang modern di museum saat ini.

 

Jika kita begitu yakin dan bangga akan tulisan Plato dan menganggapnya sebagai sumber pengetahuan yang berharga, lalu mengapa kita meremehkan Alkitab dan menganggapnya sebagai kisah mitos, dongeng, khayalan yang seakan-akan memiliki keaslian yang meragukan?

 

Jika orang jaman sekarang lebih bangga membicarakan tentang tulisan-tulisan yang dibuat oleh Aristoteles, atau senang sekali dengan kisah heroik Achilles yang ditulis oleh Homer (dan pernah diperankan oleh Brad Pitt), maka mereka harusnya sadar bahwa kepastian adanya tokoh-tokoh itu jadi terlihat bagaikan fiksi semata jika dibandingkan dengan kepastian dari keberadaan Yesus Kristus.

 

Kesimpulan

 

Saya mengawali tulisan ini dengan pertanyaan apakah berita tentang Yesus Kristus dapat dipercaya? Jawabannya adalah dapat. Dan kita bukan hanya percaya sembarang percaya, tetapi suatu kepercayaan yang didukung oleh data-data yang sangat kuat.

 

Pengikut Kristus telah memberikan seluruh hidup mereka untuk mewartakan keberadaan-Nya dan pesan penting yang ingin disampaikan Tuhan kepada dunia. Sejarawan sekuler yang hidup di zaman itu pun tidak bisa luput dari memperhatikan Pribadi yang satu ini di dalam catatan sejarah mereka.

 

Ada orang yang enggan percaya pada Alkitab karena dianggap sebagai catatan yang tidak netral. Karena ditulis oleh orang yang percaya pada Tuhan Yesus, maka para pembaca yang skeptis selalu curiga bahwa tulisan tersebut memang telah dikarang sedemikian rupa demi mendukung keyakinan orang-orang Kristen yang dianggap sebagai manusia berpikiran sempit, bodoh dan tidak tahu bagaimana hidup bergaul di dunia. Orang-orang semacam ini entah mengapa merasa lebih yakin jika membaca catatan sejarah yang sepotong-sepotong, ketimbang membaca catatan Alkitab yang membahas secara paling lengkap segala sesuatu yang berhubungan dengan Yesus Kristus.

 

Bagi saya sebagai orang Kristen, memiliki pandangan semacam itu adalah hak masing-masing orang. Tidak ada seorang pun yang ingin memaksakan apa yang harus dipercayai oleh orang lain. Banyak orang keliru terhadap orang Kristen, menduga bahwa orang Kristen adalah orang yang suka memaksa dan tidak toleran. Itu tidak betul. Bahkan Yesus Kristus pun tidak pernah memaksa siapa-siapa untuk datang kepada-Nya. Kristus hanya mengundang orang-orang untuk ikut dengan-Nya. Ada yang menerima undangan itu, tetapi ada pula yang menolak. [Baca juga: Kisah pemuda kaya yang menolak Kristus. Klik disini.]

 

Namun dari apa yang saya sampaikan di sini, saya pikir sudah bukan keraguan lagi bahwa Yesus Kristus memang benar-benar pernah ada dan bahwa catatan tentang Dia adalah catatan yang sungguh layak untuk dipercaya. Sehingga saya punya alasan yang kokoh untuk mempercayai berita yang ada di dalamnya.

 

Orang Kristen dinilai bodoh karena mereka dianggap hidup berdasarkan iman. Bagi banyak orang, iman adalah pintu darurat ketika otak sudah tidak bisa dipakai lagi. Iman adalah semacam kamar persembunyian bagi orang-orang yang berpikiran dangkal, malas belajar dan anti terhadap kemajuan jaman.

 

Tetapi sayangnya, orang-orang yang mengkritik iman kekristenan itu, ternyata adalah orang-orang yang sudah memutuskan untuk tidak mau percaya pada catatan Alkitab sebelum melakukan observasi yang memadai terhadap catatan itu sendiri. Wajar jika kita jadi bertanya-tanya, “siapa sebetulnya yang jauh lebih mengandalkan unsur keyakinan dalam proses pengambilan keputusan di sini?”

 

Lukas telah berusaha menghadirkan sebuah buku yang memuat hasil penyelidikannya terhadap tokoh Yesus Kristus ini, dengan maksud agar kita yang membacanya tahu bahwa segala sesuatu yang diajarkan dalam buku tersebut adalah ajaran yang sungguh benar.

 

Tugas kita sekarang adalah menyelidiki ajaran itu untuk mengetahui kebenaran apa yang ingin disampaikan dalam Kitab tersebut. Kiranya Tuhan memberkati kita dengan iman dan kemauan untuk mengenal kebenaran itu. Amin.

 

Monday, December 6, 2021

Mengapa kita perlu membaca Kitab Kejadian?

 


Apakah tujuan dari dituliskan Kitab Kejadian?

Untuk mengerti asal-usul kita, siapa kita dan arti kita dalam hidup. Mempelajari Kitab Kejadian juga berguna untuk menyadari tempat kita dalam dunia, relasi kita dengan makhluk lain, dengan manusia lain dan terutama dengan Allah sendiri. Kitab ini membantu kita untuk menyadari makna seluruh sejarah penebusan dalam pelayanan Yesus Kristus. [Baca juga: Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan. Klik disini.]

Kejadian adalah buku pertama dari Alkitab, tetapi yang lebih penting, ini adalah buku pertama dari Taurat, hukum Musa. Kejadian memberi tahu orang Israel kuno bahwa Tuhan telah berteman dengan nenek moyang mereka, menjanjikan mereka sebuah tanah, dan memiliki rencana untuk memberkati dunia melalui mereka. Kisah Kejadian adalah sebuah prolog besar bagi Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Bersama-sama, kelima buku ini menceritakan kisah tentang bagaimana Israel menjadi bangsa yang dipilih Tuhan.

Kejadian menjelaskan bagaimana Israel pertama kali berada di Mesir, lalu diakhiri dengan kisah bagaimana Israel dianggap sebagai tamu yang istimewa di negeri Mesir. Namun Kitab Kejadian kemudian beranjak kepada Kitab Keluaran dimana bangsa yang semula istimewa itu kini malah mulai diperbudak oleh tuan rumah mereka.

Kisah-kisah dalam Kejadian menjadi latar belakang bagi prinsip-prinsip teologis yang vital di seluruh Alkitab. Dalam Kejadian, kita melihat bahwa Allah memiliki otoritas atas dunia. Kita melihat bahwa manusia dan makhluk lain (seperti ular dan Nefilim) memberontak terhadap perintah Tuhan. Kita melihat petunjuk dari rencana Tuhan untuk menebus ciptaan-Nya kembali ke diri-Nya. [Baca juga: Apa artinya iman yang sejati? Klik disini.]

 

Penulis kitab Kejadian dan pembaca yang dituju

Secara tradisi Musa dianggap sebagai penulis Kitab Kejadian dan juga kitab-kitab lainnya yaitu Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Bangsa Israel sendiri mengasosiasikan lima kitab itu sebagai Kitab Taurat Musa. Meskipun demikian tidak sedikit dari para ahli Perjanjian Lama yang yakin bahwa pada bagian akhir dari Kitab Taurat, yaitu Ulangan, terdapat pula tulisan Yosua, yaitu tulisan yang ditulis sesudah Musa sendiri tiada. Pembaca yang dituju dari Kitab Kejadian adalah bangsa Israel sendiri, yaitu ketika mereka mengembara di padang gurun setelah keluar dari tanah Mesir. Ada penafsir yang mengatakan bahwa Kitab Kejadian sangat perlu dibaca oleh bangsa Israel yang ada di padang gurun tersebut agar mereka sadar bahwa pada mulanya Allah menciptakan segala sesuatu dalam keadaan yang sungguh amat baik. [Baca juga: Mengapa Tuhan ingin membunuh Musa? Klik disini.]

 

Perkiraan waktu penulisan kitab

Kitab Kejadian diperkirakan dituliskan pada tahun 1450 – 1410 SM, yaitu ketika bangsa Israel mengembara di padang gurun selama 40 tahun. Waktu penulisan Kitab Kejadian memang cukup bersamaan dengan lima kitab Taurat lainnya, sehingga untuk memisahkan waktu penulisan Kitab Kejadian secara persis, yang dibedakan dengan kitab Keluaran atau Imamat misalnya, maka hal itu akan sulit sekali.

 

Tempat-tempat penting yang dibicarakan dalam Kitab Kejadian

Ada beberapa tempat penting yang dibicarakan di dalam Kitab Kejadian. Kita akan melihat satu-persatu tempat tersebut dan mencoba merenungkan kekayaan rohani apa yang dapat kita gali dari tempat-tempat tersebut. Beberapa tempat itu misalnya:

 

Gunung Ararat (8:4)

Dosa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa telah membawa kehancuran dan kutukan bagi seluruh umat manusia. Dengan berjalannya waktu, ternyata kuasa dosa juga telah sedemikian merusak sehingga Tuhan akhirnya memutuskan untuk menghancurkan bumi dengan air bah yang sangat dahsyat.

Meskipun demikian, Allah tetap menyisakan ruang anugerah bagi umat manusia agar mereka tidak hilang lenyap dari permukaan bumi. Allah memilih Nuh dan keluarganya serta sepasang demi sepasang hewan untuk di selamatkan melalui sarana bahtera.

Setelah semua yang dipilih Tuhan masuk ke dalam bahtera maka dunia beserta manusia-manusia yang memberontak pada Tuhan pun kemudian dihancurkan oleh air bah tersebut. Setelah air bah itu pada akhirnya surut, maka bahtera tersebut terkandas di atas gunung Ararat. Apa yang dapat kita pelajari dari hal ini?

Dari peristiwa tersebut kita belajar tentang betapa dahsyatnya murka Tuhan terhadap segala dosa dan kejahatan manusia. Di hadapan Tuhan, dosa adalah persoalan serius yang dapat berbuahkan pada kehancuran di pihak para pendosa tersebut. Tetapi fakta bahwa bahtera itu akhirnya terkandas di gunung Ararat, mengajarkan pada kita bahwa Tuhan tidak berputus asa terhadap manusia. Tuhan masih bersedia untuk memulai segalanya dari awalnya lagi.

 

Babel (11:1)

Berkisah tentang kecongkakan manusia yang ingin menyamai kemuliaan Tuhan dengan cara membangun sebuah menara yang tingginya hingga ke langit. Mereka begitu bangga dengan diri mereka sendiri, mereka melihat diri sendiri begitu besar, begitu mampu sehingga menganggap Allah sebagai lawan yang ingin dikalahkan. Tetapi di tempat dimana menara kesombongan itu berdiri, Tuhan justru mengacaubalaukan relasi manusia sehingga mereka tidak lagi dapat berkomunikasi satu sama lain.

 

Ur (11:28)

Abraham atau Abram adalah keturunan Shem dan bapa dari bangsa Yahudi lahir di kota ini. Tidak menjadi soal dimana asal usul kita ketika lahir di dunia, yang terpenting adalah bagaimana kita mengikuti pimpinan Tuhan di dalam hidup kita.

 

Haran (11:31)

Terah, Lot, Abram dan Sara pergi meninggalkan Tanah Ur dan berjalan mengikuti lembah sungai Efrat yang subur menuju tanah Kanaan. Dan selama perjalanan itulah mereka sempat singgah di Haran.

 

Sikhem (12:6)

Tuhan mendorong (memaksa, urged) Abraham untuk meninggalkan Haran dan pergi ke suatu tempat dimana ia akan menjadi bapa dari sebuah bangsa yang besar. Itu sebabnya, kemudian Abram, Lot dan Sara berangkat ke tanah Kanaan dan berdiam di dekat sebuah kota yang disebut Sikhem. Alkitab mencatat: Abram berjalan melalui negeri itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon tarbantin di More. Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu. (Kejadian 12:6).

Mungkin kita bertanya-tanya mengapa Sikhem menjadi suatu tempat yang penting untuk direnungkan, bukan? Hal ini akan menjadi jelas apabila kita membaca ayat selanjutnya yang berbunyi: Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: "Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu." Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya. (Kejadian 12:7)

Sikhem menjadi tempat yang penting karena disitulah Allah hadir menemui Abram secara pribadi. Dan kehadiran Allah di tempat itu bukan merupakan kehadiran yang menghancurkan, melainkan justru merupakan kehadiran yang memberkati. Allah berjanji kepada Abram, dan kelak janji Allah itu pasti akan digenapi. Dan Abram pun meresponi kehadiran dan janji Allah itu dengan cara mendirikan mezbah.

Di zaman Abraham hidup, mezbah atau altar adalah sesuatu bangunan karya manusia yang khas untuk dipakai sebagai tempat mempersembahkan korban kepada dewa-dewa. Namun bagi Abram, mezbah atau altar itu lebih dari sekedar sebuah tempat atau sarana untuk mempersembahkan korban, melainkan sebuah simbol kedekatan relasi antara dirinya dengan Allah yang ia kenal. Altar menjadi pengingat bagi Abram bahwa Allah pernah menyapa, hadir dan menyampaikan janji kepadanya.

Di dalam hidup ini, kita juga perlu merenungkan kapan dan dimanakah Allah secara khusus menyapa kita dan menyampaikan janji secara khusus kepada kita. Tanpa ingatan akan kehadiran dan Firman Allah di dalam hidup ini, maka kita akan menjalani hidup yang kosong, tanpa arah dan tanpa kekuatan sama sekali. Seringkali manusia tenggelam di dalam kesesatan karena tidak pernah ingin mengingat secara khusus kehadiran Tuhan dan apa yang dikatakan Tuhan kepadanya.

 

Hebron (13:18)

Hebron menjadi tempat yang cukup penting untuk kita renungkan sebab di tempat itu Abram kembali membangun mezbah bagi Tuhan. Alkitab mencatat: Sesudah itu Abram memindahkan kemahnya dan menetap di dekat pohon-pohon tarbantin di Mamre, dekat Hebron, lalu didirikannyalah mezbah di situ bagi TUHAN. (Kejadian 13:18). Bagi Abram, Allah bukanlah satu sosok Pribadi yang pernah ia kenal di masa lalu saja. Bagi Abram, Allah adalah sosok Pribadi yang begitu penting dan layak untuk selalu diingat. Di Hebron Abram kembali mengenal perbuatan-perbuatan Allah yang begitu baik kepadanya. Bagi Abram, adalah suatu hal yang penting untuk merenungkan dan mengingat-ingat moment ketika Allah menyapa dia di dalam hidupnya.

Sebagai orang Kristen, kita juga harus senantiasa mengingat kebaikan Tuhan. Mungkin saat ini kita tidak lagi perlu membangun semacam mezbah penyembahan dari batu seperti yang dilakukan oleh orang-orang di zaman Abraham. Tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk mengadakan mezbah keluarga, atau mezbah persekutuan yang dapat kita pakai sebagai saat untuk mengenang kebaikan Tuhan. Yang kita pakai untuk mendengar Allah menyapa kita di dalam setiap kesempatan hidup kita.

 

Bersyeba (26:23-25)

Mengapa Beersheba menjadi suatu tempat yang cukup penting untuk diingat? Sebab di tempat itulah Allah yang sama yang pernah menyapa Abraham, kini juga menyapa Isak. Lalu pada malam itu TUHAN menampakkan diri kepadanya serta berfirman: "Akulah Allah ayahmu Abraham; janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau; Aku akan memberkati engkau dan membuat banyak keturunanmu karena Abraham, hamba-Ku itu." (Kejadian 23:24).

Allah kita adalah Pribadi yang suka menyapa manusia. Dan Allah tidak lupa pada janjinya. Manusia seringkali lupa atau mengabaikan janjinya kepada Allah. Tetapi Allah tidak demikian. Sebagaimana Allah dulu berjanji kepada Abraham, maka Allah juga berjanji kepada Isak.

Dan seperti Abraham, maka Ishak pun memberi respon yang baik kepada Tuhan yang penuh anugerah itu. Alkitab mengatakan: Sesudah itu Ishak mendirikan mezbah di situ dan memanggil nama TUHAN. Ia memasang kemahnya di situ, lalu hamba-hambanya menggali sumur di situ. (Kejadian 26:25)

 

Bethel (35:1)

Tentang peristiwa di Bethel, Alkitab mencatat: Allah berfirman kepada Yakub: "Bersiaplah, pergilah ke Betel, tinggallah di situ, dan buatlah di situ mezbah bagi Allah, yang telah menampakkan diri kepadamu, ketika engkau lari dari Esau, kakakmu." (Kejadian 35:1)

Kembali kita melihat Allah yang menyapa Yakub, yaitu anak Ishak dan cucu dari Abraham. Allah tidak berubah, Ia adalah Allah yang terus menyapa, memberi anugerah dan menjanjikan hal yang baik kepada manusia. Berapa seringkah kita bersyukur mengenal Allah yang seperti ini. Tidakkah kita juga merindukan, Allah yang menyapa kita hari ini, juga akan menyapa anak dan cucu kita kelak?

 

Mesir (46:3-4)

Yakub memiliki dua belas anak termasuk Yusuf, yaitu anak kesayangan Yakub sendiri. Sepuluh saudara Yusuf yang lain merasa sangat iri pada Yusuf sehingga pada suatu hari mereka memutuskan untuk menjual saudaranya itu kepada para pedagang Midian yang sedang dalam perjalanan menuju Mesir. Akan tetapi di dalam rancangan tangan Tuhan, peristiwa yang tragis di dalam hidup Yusuf itu kemudian menjadi suatu jalan bagi suku Israel untuk selamat dari bencana kelaparan yang dapat memusnahkan mereka. Jalan berliku menuju Mesir dan penyelamatan Israel dari kehancuran merupakan bayang-bayang dari Kristus yang kelak harus ikut masuk ke dalam dunia yang berdosa ini agar dapat menyelamatkan kita dari kutukan dosa yang membinasakan tersebut.

 

Ayat-ayat penting

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kejadian 1:27)

Melalui ayat ini kita diingatkan akan keistimewaan diri kita sebagai ciptaan Allah. Seharusnya hal ini mendorong kita untuk hidup berpadanan dan bergaul erat dengan Allah, sebab tidak ada makhluk lain yang diberikan kemungkinan untuk memiliki relasi seperti itu. Marilah kita memakai kesempatan yang indah ini, untuk menjalin relasi yang erat dengan Allah yang telah menciptakan kita sedemikian dahsyat dan ajaib ini. [Baca juga: Mengapa Yesus Kristus mau menjadi manusia? Klik disini.]

Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kejadian 12:2,3)

Ayat ini diucapkan setelah manusia jatuh ke dalam dosa, sehingga hubungan antara manusia dan Allah yang seharusnya erat itu kini justru menjadi jauh terpisah dan bahkan tidak dapat dipersatukan lagi, kecuali jika Allah sendiri yang berinisiatif untuk mendamaikan manusia. Di dalam konteks itulah Allah memanggil Abraham untuk menjadi suatu cikal bakal umat Allah yang baru. Yaitu umat Allah yang hidup dari kesetiaan mereka kepada Allah. Peran dari orang percaya sedemikian besarnya sehingga ketika mereka gagal menjadi berkat bagi dunia, maka dunia akan mengalami kutukan dari Allah.

Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu. (Kejadian 17:7)

Ayat ini mengingatkan kita, bahwa Allah yang berinisiatif untuk menyelamatkan manusia dari dosa adalah Allah yang juga mengikat janji setia. Sehingga inisiatif Allah itu tidak mungkin dibatalkan lagi. Adalah keinginan Allah untuk menjadikan kita umat-Nya. Pertanyaan kini adalah, apakah kita sebagai manusia mau menanggapi undangan yang indah ini? Ataukah kita tetap memilih untuk hidup terpisah dari Allah dan tetap tinggal di dalam kutukan yang membinasakan tersebut.

Kiranya Tuhan menolong kita untuk semakin mengenal dan mengasihi Dia. Amin. (Oleh: izar tirta)