Oleh: Izar tirta
Siapa
sajakah yang menentang berita kebangkitan Yesus Kristus?
Bagaimana
sikap orang-orang pada abad Pencerahan terhadap berita kebangkitan Kristus?
Apakah
kebangkitan Kristus pasti dapat membuat setiap orang menjadi percaya?
Kebangkitan Yesus Kristus dari
kematian adalah berita yang kerap kali ditentang oleh berbagai pihak. Persoalan
yang muncul sehubungan dengan kebangkitan Yesus Kristus itu, biasanya berkisar
tentang diterima atau ditolaknya kebangkitan Yesus Kristus sebagai suatu fakta
sejarah.
Stanley J.Grenz, seorang ahli
teologi dari Amerika, mengungkapkan sifat sejarah dari kebangkitan Yesus
Kristus dengan cara demikian: Can we say that
Jesus’ resurrection is a historical event? The tendency among theologians since
the Enlightenment has been to deny the historicity of the resurrection. [Stanley J.Grenz, Theology for the Community of God (Grand Rapids Michigan: Eerdmans,
1994), 256.]
Pada umumnya kita membicarakan
kebangkitan Yesus Kristus dari sisi spiritualitasnya saja. Pertanyaan yang
sering diajukan misalnya: Apa kaitan antara kebangkitan Yesus Kristus dari
kembatian dengan iman kita? Tentu saja pertanyaan semacam ini
penting untuk kita ajukan, bukan?
Tetapi Stanley J.Grenz mencoba
mengangkat kisah kebangkitan Yesus Kristus dari sisi yang lain, yaitu dari sisi
ke-sejarahan peristiwa tersebut. Pertanyaan yang diajukan adalah: Apakah
kebangkitan Yesus Kristus sungguh-sungguh merupakan fakta sejarah?
Dari apa yang dikatakan oleh Stanley J.Grenz kita mendapat kesan bahwa sebelum abad Pencerahan, orang tidak terlalu mempersoalkan tentang apakah kebangkitan Kristus itu merupakan fakta sejarah ataukah bukan. Orang tidak terlalu mempertanyakan hal itu karena mereka yakin bahwa hal itu memang merupakan fakta sejarah. Atau setidaknya orang pada zaman itu tidak terlalu memikirkan apakah ada gunanya jika kebangkitan Yesus Kristus itu merupakan fakta sejarah ataukah bukan.
Tetapi kemudian Grenz mengambil abad Pencerahan sebagai tolok ukur penolakan terhadap sifat historis dari kebangkitan Yesus Kristus tersebut. Mengapa demikian? Hal ini dilakukannya karena pada abad tersebut semangat penolakan terhadap sifat sejarah dari kebangkitan Kristus cukup subur terjadi di Eropa, yaitu benua yang (ironisnya) merupakan benua dimana Kekristenan justru berkembang secara luas.
Cukup mengherankan bukan? Bahwa jaman itu disebut sebagai abad Pencerahan, tetapi justru berisi orang-orang yang mata rohaninya menjadi sedemikian gelap sehingga hal yang sedemikian penting dan dahsyat seperti kebangkitan Kristus saja pun mereka tidak dapat lagi melihatnya sebagai suatu anugerah Ilahi yang harus dihargai.
Mereka tidak melihat itu sebagai karya yang besar dan berharga, yang telah dilakukan oleh Allah bagi manusia. Sebaliknya, peristiwa kebangkitan justru hanya dilihat sebagai semacam mitos atau dongeng atau sekedar kisah yang sebetulnya tidak pernah betul-betul terjadi.
Meskipun hal ini tentu saja
menyedihkan bagi kita yang percaya, tetapi mungkin kita tidak perlu terlalu terkejut
melihat manusia di abad Pencerahan begitu gigih menolak berita kebangkitan
Yesus Kristus itu. Sebab apabila kita melihat ke dalam Alkitab sendiri, maka kita
akan temukan bahwa penolakan atas kebangkitan Yesus Kristus sesungguhnya telah
muncul bahkan segera setelah peristiwa itu terjadi.
Para penentang berita kebangkitan yang
tercatat dalam Alkitab
Alkitab mencatat adanya orang-orang yang dengan sengaja memberitakan suatu kabar yang bertentangan dengan kabar kebangkitan Yesus Kristus. Mereka bukan sekedar tidak percaya saja, melainkan juga secara aktif memberitakan kebohongan di tengah-tengah masyarakat, yaitu bahwa pada dasarnya Yesus orang Nazaret itu tidak sungguh-sungguh bangkit dari kematian.
Sesungguhnya, para murid Kristus pun semula tidak percaya atau sangat ragu-ragu akan kebangkitan tersebut. Namun dengan berjalannya waktu para murid kemudian menjadi percaya, bahkan hingga memiliki suatu tingkat kepercayaan yang mampu membawa mereka melalui berbagai siksaan, bahkan penganiayaan hingga mati sekalipun.
Matius 28:12–15 mencatat suatu kebohongan yang dirancang oleh orang-orang yang ingin menentang berita kebangkitan Yesus Kristus itu. Matius mencatat: Dan sesudah berunding dengan tua-tua, mereka mengambil keputusan lalu memberikan sejumlah besar uang kepada serdadu-serdadu itu dan berkata: "Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur. Dan apabila hal ini kedengaran oleh wali negeri, kami akan berbicara dengan dia, sehingga kamu tidak beroleh kesulitan apa-apa." Mereka menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka. Dan ceritera ini tersiar di antara orang Yahudi sampai sekarang ini.
Menurut catatan Matius, orang Yahudi sempat berunding untuk membahas bagaimana sikap mereka terhadap berita kebangkitan Kristus. Di dalam diskusi tersebut, mereka akhirnya mengambil keputusan. Diskusi untuk menghasilkan sebuah keputusan bersama, seharusnya merupakan sebuah hal yang baik. Tetapi di dalam peristiwa ini, kita melihat bahwa diskusi mereka bukan mengarah pada kesimpulan yang baik, melainkan justru menghasilkan suatu keputusan untuk melakukan perbuatan yang jahat.
Keputusan untuk memberi sejumlah besar uang adalah suatu tanda bahwa sebetulnya orang-orang Yahudi yang berdiskusi itu sudah tahu bahwa Yesus Kristus telah bangkit. Sebab jika mereka sangat-sangat yakin bahwa mayat Tuhan Yesus dicuri, maka sebagai otoritas yang berkuasa waktu itu, yang dilengkapi pula dengan kekuatan militer, seharusnya sama sekali bukan sesuatu yang menyulitkan untuk segera mencari para murid yang telah mencuri mayat Kristus.
Seharusnya mereka tidak perlu repot-repot menyogok serdadu dengan sejumlah besar uang. Seharusnya mereka hanya tinggal membuktikan saja bahwa mayat Kristus dicuri. Para murid Kristus juga sebagaimana diketahui semua masyarakat, hanyalah orang-orang sederhana yang tidak mempunyai ketrampilan seperti prajurit yang tangguh. Jika berhadapan dengan para serdadu, mereka dengan mudah dapat dikalahkan dan berita kebangkitan dengan mudah dapat dipatahkan melalui penemuan jasad Kristus. Tetapi bukan itu yang dilakukan oleh orang Yahudi.
Mereka seperti kehilangan akal, dan menemui jalan buntu terhadap berita kebangkitan yang sulit dibantah ini, sehingga jalan keluar terakhir adalah dengan menyuap dan menyebarkan berita palsu. Berdasarkan Matius 28:15 diketahui bahwa berita palsu tersebut akhirnya tersiar pula di antara orang Yahudi.
Catatan semacam ini tidak ditemukan di dalam kitab Injil lainnya. David Wenham, seorang teolog dari Inggris yang banyak mendalami Perjanjian Baru, melaporkan bahwa Injil Matius adalah Injil yang punya keunikan tertentu ketika menjelaskan adegan terakhir dalam kehidupan Yesus Kristus. Wenham mengatakan: Matthew’s account is distinctive in various ways. Dan di antara beberapa hal yang paling unik dalam Injil tersebut adalah tentang peristiwa penyuapan para penjaga kubur Yesus Kristus tersebut.
Kemudian Wenham melanjutkan: The guards are terrified but are bribed by the Jews to say that the disciples of Jesus stole the body. [David Wenham and Steve Walton, Exploring the New Testament: A Guide to the Gospels & Acts, Vol. I (Illinois: InterVarsity Press, 2001), 211.]
Wenham menyoroti sikap para penjaga yang merasa sangat ketakutan melihat peristiwa kebangkitan Yesus Kristus tersebut. Dan sulit dipungkiri bahwa rasa takut tersebut adalah rasa takut yang nyata (riil/genuine) karena melihat peristiwa menakutkan yang nyata pula. Tetapi sayangnya bukan pertobatan yang timbul di dalam hati mereka, melainkan justru ikut ambil bagian di dalam kejahatan yang lebih besar lagi, yaitu menyebarkan berita bohong.
Selain itu, Wenham juga
berpendapat bahwa fakta penyuapan ini merupakan suatu bukti bahwa baik para
penjaga maupun para imam dan tua-tua sebenarnya sudah mengetahui dengan pasti bukan
para murid yang mencuri mayat tersebut. Mengapa? Sebab jika mereka memiliki
keyakinan yang kuat berdasarkan bukti-bukti yang kokoh bahwa para murid yang
mencuri mayat Yesus Kristus maka untuk apa mereka melakukan tindakan penyuapan tersebut?
Hati
manusia yang keras dan jahat
Alkitab tidak menutup-nutupi keadaan jiwa manusia yang keras dan jahat. Sekalipun mereka sudah diperhadapkan pada bukti yang tak terbantahkan dari kebangkitan Yesus Kristus, hati mereka yang keras itu tetap saja tidak dapat menerimanya dan hati mereka yang jahat itu dengan sukarela mau mengerjakan hal-hal yang justru bertentangan dengan kenyataan yang ada.
Tidak jarang orang Kristen berpendapat bahwa mukjizat merupakan suatu tanda yang ampuh untuk membuat seseorang mau mempercayai Allah. Tetapi Alkitab kerap kali justru membuktikan bahwa hal yang sebaliknyalah yang terjadi.
Bangsa Israel sudah melihat tanda-tanda yang sangat ajaib ketika mereka keluar dari Mesir. Mereka melihat 10 tulah, mereka melihat laut terbelah, air yang memancar dari batu, makanan yang turun dari sorga dan lain sebagainya. Tetapi bukannya menjadi percaya, mereka justru kerap kali memberontak terhadap Allah dan merasa curiga pada-Nya.
Orang Yahudi sudah melihat bagaimana Kristus membangkitkan Lazarus dari kematian, tetapi mereka tidak menjadi percaya melainkan justru berniat untuk membunuh Yesus Kristus karena hal tersebut.
Dan kini, para prajurit sudah melihat bukti yang tak terbantahkan akan kebangkitan Kristus sendiri, tetapi hati mereka yang keras dan jahat tetap tidak percaya dan sekaligus mengajak lebih banyak lagi orang untuk tidak percaya akan hal itu.
Benarlah yang dikatakan oleh Yesus Kristus di dalam perumpamaan-Nya tentang Abraham: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati." (Lukas 16:31)
Seseorang
yang memang diberi anugerah untuk percaya, tidak memerlukan tanda-tanda yang
ajaib sebagai syarat untuk menjadi percaya. Melalui Firman Tuhan saja pun maka
orang itu akan percaya. Tetapi bagi mereka yang tidak memperoleh anugerah
pengampunan dari Allah, maka sekalipun di hadapan mereka sudah ada bukti-bukti
yang sangat kuat sekalipun, mereka tetap tidak akan percaya.
Kiranya Tuhan Yesus
menolong dan memberi kita anugerah untuk percaya kepada-Nya. Amin