Mendengar kata "disiplin rohani" kita bisa terasosiasi pada sesuatu yang berat, sesuatu yang sulit, tidak natural serta tidak menyenangkan. Hal ini mungkin tidak terlalu aneh atau mengejutkan, mengapa? Sebab kita semua adalah orang yang berdosa yang cenderung untuk bersikap malas dan cenderung ingin menyenangkan apa yang menjadi sifat kedagingan kita. Sementara di sisi lain, disiplin adalah sesuatu yang harus diusahakan dan dikerjakan secara terus menerus.
Buku "Membangkitkan Kembali Semangat Disiplin Rohani"
Klik disini.
Tetapi coba bayangkan seorang pelari yang tidak disiplin berlatih, apakah dia akan dapat terus berlari dengan baik? Tentu saja tidak, bukan? John Stephen Akhwari, pria kelahiran pada 1938 di Mbulu, Tanganyika, Tanzania, membuat catatan penting yang akan dikenang sepanjang masa. Saat bendera dikibarkan, saat lomba baru dimulai beberapa saat, Akhwari telah terhadang cedera. Pria berkulit legam itu terjatuh, yang menyebabkan ia terluka parah. Akhwari mengalami lepas engsel pada sendi lututnya. Sakit? Tentu saja. Rasa nyeri bersarang dilututnya. Akibat lukanya, Akhwari mengalami demam hebat. Pihak panitia pun menyarankan agar ia mengundurkan diri dari lomba. Tapi Akhwari malah memutuskan untuk terus berlari dan melanjutkan perlombaan. Sambil mengatasi rasa nyerinya, Akhwari terus berlari hingga mencapai finish. Setelah usai, Akhwari ditanya oleh wartawan mengapa ia terus berlari. Akhwari menjawab sederhana, “Negaraku tidak mengirim aku sejauh 5000 mil ke Mexico City untuk memulai perlombaan. Mereka mengirim aku untuk menyelesaikannya.” John Stephen Akhwari bukan saja disiplin secara fisik, tetapi juga disiplin secara mental.
Kata Disiplin sendiri mempunyai pengertian:
Ketaatan atau kepatuhan terhadap nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang.
Apabila kita yakin pada sesuatu, maka kita secara otomatis akan taat atau patuh pada keyakinan tersebut. Akhwari yakin bahwa dia diutus untuk menyelesaikan, maka ia patuh. Ada hubungan yang erat antara keyakinan dan kepatuhan.
Makin kita yakin, makin kita patuh.
Sebaliknya...
Jika kita tidak patuh, maka mungkin
kita tidak terlalu yakin, malah tidak yakin sama sekali.
Tuhan Yesus pernah mengatakan hal ini:
Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sempitlah pintu dan sesaklah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya. (Matius 7:13,14 dan Lukas 13:23,24)
Mengapa Tuhan Yesus mengatakan hal seperti itu? Apakah Tuhan ingin mempersulit hidup kita? Tentu saja bukan. Tuhan Yesus hanya mengatakan suatu kebenaran bahwa menjadi orang percaya itu bukan perkara mudah. Orang percaya sejati, harus memiliki hati yang disiplin. Ciri-ciri dari orang percaya yang sejati adalah disiplin. Orang Kristen yang tidak tertarik pada kedisiplinan rohani atau sama sekali tidak pernah ingin didisiplinkan secara rohani, maka mungkin sekali orang itu memang bukan termasuk orang yang sudah lahir baru..
Saat ini ada banyak orang yang memanggil nama Tuhan Yesus atau mengaku percaya. Tetapi apakah itu berarti bahwa kekristenan memang sungguh-sungguh sedang berkembang? Bagaimana dengan orang yang mengaku percaya Yesus tetapi pada saat yang sama juga percaya pada agama-agama lain?
Matius 7 di atas, adalah saringan atau filter untuk mengetahui mana orang percaya sejati, mana orang yang percaya yang palsu. Orang percaya sejati, pasti akan mengalami “pintu yang sesak itu.” Istilah ini dapat kita ganti sebagai suatu kedisiplinan, artinya ada ketidakbebasan.
Beberapa bentuk kedisiplinan rohani:
Ada beberapa bentuk dari kedisiplinan rohani yang bisa kita latih, yaitu:
Disiplin dalam membaca Firman.
Ada kecenderungan di antara orang-orang Kristen untuk tidak lagi mementingkan penggalian Firman Tuhan dan menggantinya dengan pengalaman rohani. Ini merupakan kecenderungan yang berbahaya dan dapat dipastikan bukan merupakan hal yang disukai oleh Tuhan.
Pengalaman rohani bukan secara unik dimiliki oleh orang Kristen saja, semua orang dari agama apapun dapat memiliki pengalaman rohani mereka sendiri karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang memiliki aspek rohani di dalam kepribadiannya.
Tanpa adanya disiplin dalam membaca Firman, kita tidak tahu apa yang menjadi isi hati dan isi pikiran Allah yang ingin disampaikan kepada manusia. Akibatnya, manusia secara subjektif menafsirkan sendiri kehendak Tuhan di dalam hidup mereka.
Pembacaan Firman Tuhan menolong kita untuk terhindar dari kepercayaan subjektif tentang Tuhan dan mendorong kita untuk memiliki iman yang objektif, yaitu iman kepada apa yang diFirmankan oleh Tuhan. Perbedaan orang percaya yang sejati dan yang tidak sejati adalah dari sikap mereka terhadap pembacaan Firman.
Disiplin dalam mempercayai Firman.
Membaca Firman adalah satu hal, dan itu penting sekali. Tetapi dalam hal ini tentu bukan hanya membaca saja yang harus dipentingkan, melainkan apakah kita juga percaya pada apa yang kita baca?
Sebab jika hanya membaca, iblis pun membaca Alkitab. Pendiri sekte-sekte keagaaman yang sesat pun baca Alkitab. Hollywood pun membaca Alkitab. Tetapi tidak semua orang membaca Alkitab dengan tujuan untuk mempercayai apa yang ada di dalamnya. Tidak jarang orang membaca Alkitab dengan tujuan untuk memutarbalikkan pesan yang ada di dalamnya, untuk menghinanya, atau untuk menyesatkan orang-orang yang tidak membaca Alkitab dengan teliti.
Disiplin dalam melakukan Firman.
Kita membaca di dalam Alkitab adanya perintah untuk memberitakan Injil, tetapi seberapa disiplin atau seberapa taatkah kita dalam melakukan hal ini? Atau kita membaca perintah untuk mengampuni, tetapi berapa banyak orang yang telah kita ampuni? Kita membaca tentang pikul salib, tetapi berapa banyak orang yang sudah melaksanakannya?
Membaca Alkitab adalah suatu hal yang baik, mempercayai apa yang dikatakan Alkitab adalah hal yang bahkan lebih baik lagi, tetapi semua itu dapat dikatakan belum ada artinya, apabila kita tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Alkitab. Orang yang percaya adalah orang yang taat dan setia untuk melakukan apa yang Alkitab katakana.
Disiplin dalam berdoa.
Berdoa seharusnya bukanlah sebuah kewajiban. Sebab melalui doa kita diundang untuk menjalin komunikasi dengan Allah yang hidup. Tetapi kadang, kita enggan berdoa pada Tuhan. Kita lebih cenderung percaya pada diri kita sendiri dalam menghadapi apapun di dunia ini. Apabila kita percaya dan taat kepada apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan, maka sewajarnya kita akan terdorong untuk berdoa, sebab apa yang dikatakan oleh Firman tidak mungkin dapat kita lakukan dengan kekuatan kita sendiri. Kita butuh kekuatan dan pertolongan dari Tuhan, dan kita dapat meminta hal itu melalui doa.
Disiplin dalam melayani Tuhan.
Orang yang kelihatan giat melayani belum tentu merupakan tanda bahwa orang itu adalah orang percaya yang sejati. Orang percaya sejati,
pasti terdorong untuk melayani Tuhan. Dan ketika mereka melayani, yang dilayani adalah
Tuhan, bukan diri sendiri. Sebagai manusia berdosa, kita bisa kehilangan arah di dalam melayani, kita bisa kehilangan semangat pula dalam melayani. Itu sebabnya, melayani Tuhan pun butuh perjuangan, butuh kedisiplinan di dalam melakukannya.
Bahaya disiplin? Rutinitas dan sombong rohani
Pada saat bangsa Israel keluar dari pembuangan dan pulang kembali ke tanah mereka. Bangsa itu sadar bahwa mereka telah melanggar Taurat Tuhan. Itu sebabnya mereka kemudian menjadi sangat ketat dalam menerapkan Hukum Taurat, karena mereka tidak mau sampai terulang mengalami pembuangan oleh Tuhan.
Mungkin pada awalnya niat seperti ini merupakan hal yang baik sekali, tetapi di sini pulalah kita melihat betapa jahatnya pengaruh dosa di dalam diri manusia. Apa yang diawali dengan motivasi yang baik, dapat berakhir di dalam keburukan apabila manusia tidak berhati-hati.
Dalam kelanjutannya, bangsa Israel menerapkan Hukum Taurat sedemikian rupa hingga melupakan arti dari Taurat itu sendiri. Demi menjaga bangsa itu melanggar Taurat, maka para ahli agama Israel membuat aturan-aturan lain yang berfungsi melindungi aturan utama dari Taurat. Sedemikian rupa, hingga hukum yang semula katakanlah hanya terdiri dari 10 Perintah Allah, pada akhirnya berkembang menjadi 600 aturan tambahan, yang berfungsi menjaga siapapun dari melanggar 10 Perintah utama tadi.
Sebagai contoh, ada perintah di mana orang harus menguduskan Hari Sabat, sebab sebagaimana Tuhan bekerja mencipta selama 6 hari, lalu beristirahat pada hari ke 7, maka demikian pula manusia diharapakan berhenti dari pekerjaan rutinnya pada hari ke 7 itu, agar bisa menikmati hari perhentian Bersama dengan Tuhan. Tujuan perintah ini tentu saja baik, agar manusia menyediakan waktu yang khusus untuk menikmati kebersamaan yang khusus dengan Tuhan, dan agar manusia menyadari bahwa hidup mereka dipelihara oleh Tuhan, bukan oleh tangan mereka sendiri.
Tetapi perintah yang seharusnya indah ini, dihayati sebagai hari dimana manusia tidak boleh bekerja, tidak boleh melakukan apapun secara terlalu banyak, tidak boleh berjalan terlalu jauh. Masalahnya adalah, bagaimana apabila pada hari sabat itu ada orang yang sakit atau mengalami musibah atau tertimpa celaka? Tidakkah harus ditolong?
Itu sebabnya Tuhan Yesus sengaja melakukan penyembuhan justru di hari Sabat, agar orang mengerti bahwa hari Sabat adalah hari yang diciptakan oleh Tuhan untuk dinikmati Bersama dengan Tuhan. Bukan hari yang secara literal sama sekali tidak boleh ada pekerjaan apapun. Apabila pada hari itu ada orang yang sakit atau celaka, bukankah berarti orang itu tidak bisa menikmati hari bersama dengan Tuhan? Oleh karean itu, Tindakan Tuhan Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat seharus tidak bertentangan dengan maksud hari Sabat itu diadakan.
Kemunafikan pemuka agama Israel terlihat dari sikap mereka yang mendua terhadap milik kepunyaan mereka. Ketika ada domba yang tercebur di dalam sumur, maka orang Israel diperbolehkan melanggar aturan Sabat yang mereka buat. Sebab jika domba sampai tercebur, maka domba itu akan mati, mereka rugi kehilangan ternak, dan sumurnya jadi tercemar bangkai, mereka rugi lagi karena kehilangan sumber air bersih. Jadi orang Israel boleh melanggar aturan Sabat mereka sendiri, karena didorong oleh motivasi takut rugi, bukan karena kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.
Tuhan Yesus menegur dengan keras para Ahli Taurat, karena domba saja ditolong jika tercebur di sumur, mengapa menolong orang menadi sesuatu yang salah?
Kedisiplinan orang Israel dalam menerapkan aturan agama tidak diragukan lagi, tetapi ketika disiplin sudah berubah menjadi rutinitas, maka akhirnya kedisiplinan itu sudah kehilangan arti dan orang kehilangan arah tentang mengapa aturan itu pertama-tama dibuat.
Ada kalanya, ketika seseorang begitu disiplin dalam kerohanian, mereka pada saat yang sama juga menjadi sombong rohani. Ini bahaya. Orang yang membaca Firman lebih banyak cenderung memandang remeh orang yang malas baca Firman. Ini harus dihindari. Orang yang melayani lebih banyak lalu merasa cape, akan cenderung menjelek-jelekkan orang yang tidak terlihat melayani. Ini juga tidak boleh.
Bukankah melayani itu seharusnya merupakan semacam pesta, semacam undangan kebahagiaan, ketika Allah mengizinkan manusia ikut ambil bagian dalam pekerjaan Allah. Jika kita merasa lelah, maka sebetulnya kita hanya perlu istirahat, tidak perlu marah atau menjelekkan orang lain yang tidak ambil bagian dalam pelayanan kita.
Adalah lebih baik untuk mendorong orang lain dengan kasih dan sabar tanpa perlu menghakimi mereka, sebab kita tidak tahu apa yang mereka alami, setiap orang punya pergumulannya sendiri yang tidak kita pahami.
Orang yang merasa superior dari orang yang kurang disiplin. Pada dasarnya kurang mengenal siapa Allah dan siapa dirinya. Ketimbang merasa superior dari mereka yang kita nilai kurang disiplin akan lebih bijaksana jika kita doakan mereka, bantu permasalahan mereka.
Disiplin harus dilandaskan pada perasaan kasih. Bukan karena peraturan atau bukan karena paksaan.
Jika kita disiplin karena didorong oleh peraturan semata-mata, maka kita menjadi seperti robot, rutinitas, less human. Jika kita berdisiplin karena didorong oleh rasa keterpaksaan, maka akan kita menjadi sombong, atau sakit hati, juga less human.
Disiplin harus dilandaskan oleh motivasi kasih. Itu sebabnya Tuhan Yesus merangkum Taurat dengan:
"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matthew 22:36-40)
Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin