Mengalami persoalan dan kesulitan hidup merupakan hal yang tentu saja sangat tidak menyenangkan. Akan tetapi Alkitab mengajak kita untuk melihat suatu cara pandang yang berbeda, yaitu bahwa Tuhan dapat memakai setiap persoalan dan kesulitan hidup itu sebagai sarana untuk membentuk karakter kita agar menjadi semakin serupa dengan Kristus.
Buku "Memulai Kembali" Klik disini.
Apabila kita perhatikan, di dalam kehidupan sehari-haripun sebetulnya dapat kita lihat bagaimana kesukaran itu bukanlah selalu merupakan sesuatu yang buruk. Seorang yang sedang dipersiapkan untuk menjadi prajurit yang tangguh, tidak mungkin dibiarkan menikmati kehidupan yang mudah, nyaman, tidak ada kesulitan dan tantangan. Sebaliknya orang yang dipersiapkan untuk menjadi prajurit yang tangguh itu, justru akan diberikan berbagai kesulitan, ujian dan tantangan yang berat di dalam keseharian mereka.
Di dalam dunia olah raga, ataupun di sekolah, tidak ada orang yang bisa mencapai kemajuan, entah secara intelek ataupun secara fisik, yang tidak dengan sengaja diperhadapkan pada kesulitan atau kesukaran, ujian, tekanan dan berbagai hal yang tidak nyaman lainnya. Kita tahu bahwa meskipun semua itu tidak nyaman, tetapi semua kesulitan itu diperlukan bagi kemajuan kita sendiri.
Tuhan memiliki suatu tujuan di balik segala kesulitan hidup.
Tuhan dapat memakai berbagai keadaan dan peristiwa yang terjadi di dalam hidup kita sebagai sarana untuk mengembangkan karakter kita. Tuhan Yesus memperingatkan bahwa kita akan menghadapi beraneka persoalan di dunia ini (Yohanes 16:33). Tidak ada seorang pun yang kebal terhadap penderitaan atau terlindungi dari penderitaan, dan tidak seorang pun yang akan menjalani kehidupan ini tanpa masalah. Setiap kali kita berhasil memecahkan satu masalah, masalah lain sudah menanti untuk muncul. Memang tidak semua masalah itu besar, tetapi semuanya berperan penting dalam proses pertumbuhan yang disiapkan Tuhan bagi kita.
Tuhan sendiri, melalui Petrus, meyakinkan kita bahwa masalah yang dihadapi oleh pengikut-Nya adalah sesuatu yang normal, dengan mengatakan: "Janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu." (1Petrus4:12)
Tuhan memakai berbagai masalah dan kesulitan hidup, untuk menarik diri kita lebih dekat kepada Diri-Nya. Alkitab mengatakan, "Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya."(Mazmur 34:18).
Berdasarkan ayat di atas, bagaimana mungkin kita dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan apabila kita belum pernah mengalami peristiwa yang membuat kita patah hati? Dan bagaimana mungkin kita merasakan pengalaman diselamatkan oleh Tuhan, apabila kita sendiri tidak pernah mengalami jiwa yang remuk oleh dosa?
Pengalaman-pengalaman penyembahan kita yang paling mendalam justru seringkali terjadi ketika kita tengah mengalami masa-masa tergelap dalam hidup ini. Ketika patah hati, merasa ditinggalkan, tidak dipilih, atau ketika mengalami penderitaan jasmani yang luar biasa, pada saat itu biasanya kita akan datang kepada Tuhan. Selama dalam penderitaan itulah kita belajar untuk menaikkan doa-doa kita yang paling murni, sepenuh hati, dan jujur kepada Allah. Ketika kita berada di dalam penderitaan, kita tidak lagi memiliki tenaga untuk menaikkan doa-doa yang dangkal.
Joni Eareckson Tada menulis, "Ketika hidup terasa menyenangkan, kita mungkin menikmatinya dengan kerinduan untuk mengetahui tentang Yesus, dengan meniru Dia dan mengutip perkataan-Nya serta membicarakan-Nya. Tetapi hanya dalam penderitaanlah kita akan benar- benar mengenal Yesus." Kita akan mengenal lebih dalam siapakah Tuhan kita, justru di dalam dan melalui penderitaan, karena hal itu tidak mungkin dapat kita pelajari dengan cara lain lagi.
Tuhan tentu bisa saja mencegah agar Yusuf tidak masuk penjara (Kej 39:20-22), agar Daniel tidak dimasukkan ke dalam gua singa (Daniel 6:16-23), agar Yeremia tidak dimasukkan ke dalam perigi (Yeremia 38:6), agar Paulus tidak mengalami karam kapal, apalagi sampai tiga kali (2 Kor 11:25). Tuhsn bisa mencegah tiga pemuda Ibrani agar tidak dibuang dalam perapian yang menyala-nyala (Daniel 3:1-26). Tetapi Tuhan tidak mencegah itu semua terjadi. Tuhan mengizinkan masalah-masalah yang berat, bahkan mengerikan tersebut terjadi. Dan sebagai hasilnya, setiap orang tersebut ditarik lebih dekat kehadirat-Nya, masuk ke dalam pengenalan yang baru akan Pribadi Tuhan.
Berbagai masalah yang muncul di dalam kehidupan kita, dapat dipakai Tuhan untuk mendorong kita lebih bergantung pada-Nya dan bukan pada diri kita sendiri. Paulus memberikan kesaksian tentang hal ini: Kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati." (2 Kor 1:9).
Tidak ada satu pun masalah yang bisa terjadi tanpa seizin Tuhan, karena Dialah pemegang kendali tertinggi dari segala sesuatu yang ada. Rasul Paulus mengatakan hal ini dalam Roma 8:28-29: "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya."
Bagaimana sebaiknya kita menyikapi datangnya kesulitan hidup?
Masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan tidak secara otomatis menghasilkan apa yang baik sebagaimana seharusnya. Banyak orang malah menjadi kecewa dan bukannya mendekatkan diri pada Tuhan. Oleh karena itu, kita perlu memiliki cara pandang seperti Tuhan Yesus sendiri dalam melihat problem kehidupan.
Pertama: selalu ingat bahwa rencana Tuhan itu baik
Tuhan mengetahui apa yang terbaik bagi kita dan Ia memperhatikan kepentingan kita. Tuhan memberitahu Yeremia, "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11).
Yusuf memahami kebenaran ini pada saat dia memberitahu saudara- saudaranya yang telah menjualnya dalam perbudakan, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan," (Kej 50:20)
Hizkia juga turut menyuarakan perasaan yang sama tentang penyakit yang menjadi ancaman nyawanya: "Sesungguhnya, penderitaan yang pahit menjadi keselamatan bagiku;" (Yesaya 38:17).
Dari beberapa contoh ayat yang disajikan di atas, kita mendapati bahwa orang-orang yang mengalami penderitaan dan kesulitan itu pada akhirnya menyadari bahwa Tuhan telah bekerja demi kebaikan mereka justru dengan memakai kesulitan tersebut.
Benarlah yang dikatakan penulis Ibrani: " Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya." (Ibrani 12:10b).
Penting bagi kita untuk tetap fokus pada rencana Allah, bukan pada penderitaan atau masalah yang kita alami. Inilah cara Tuhan Yesus menanggung penderitaan salib, dan kita didorong untuk mengikuti teladan-Nya: "Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia," (Ibrani 12:2a).
Corrie ten Boom, yang menderita di dalam sebuah kamp maut Nazi, menjelaskan tentang kuasa dari fokus yang dimiliki seseorang: "Jika Anda memandang kepada dunia, Anda akan menderita. Jika Anda memandang diri sendiri, Anda akan tertekan. Namun jika Anda memandang Kristus, Anda akan tenang!"
Apa yang menjadi fokus kita, akan memberi pengaruh cukup besar bagi perasaan-perasaan kita. Rahasia ketekunan ialah mengingat bahwa penderitaan kita bersifat sementara, tetapi upah yang kita akan terima adalah kekal.
Musa tekun menjalani kehidupan yang penuh masalah "sebab pandangannya ia arahkan kepada upah" (Ibrani 11:26). Paulus tekun menanggung kesulitan dengan cara yang sama. Dia berkata, "Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar daripada penderitaan kami." (2 Kor 4:17).
Kedua: belajar bersukacita dan belajar mengucap syukur karena Tuhan
Alkitab mengajarkan kita untuk "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1Tesalonika 5:18)
Perhatikan bahwa Tuhan menyuruh kita untuk mengucap syukur "dalam segala hal" bukan "atas segala hal." Tuhan tidak meminta kita bersyukur atas kejahatan, atas dosa, atas penderitaan, atau atas akibat-akibat menyakitkan dari hal-hal tersebut di dalam dunia. Sebaliknya, Allah ingin kita mengucap syukur pada-Nya karena Dia akan memakai masalah-masalah kita itu untuk menggenapi tujuan-Nya.
Alkitab mengatakan, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan!" (Filipi 4:4). Alkitab tidak mengatakan, "Bersukacitalah atas penderitaanmu." Itu merupakan masokisme (kepuasan yang diperoleh dari penderitaan). Kita bersukacita karena ada kasih, perhatian, hikmat, kuasa, dan kesetiaan dari Tuhan.
Kita bersukacita karena mengetahui bahwa kita akan melewati penderitaan itu bersama Tuhan. Kita bukan melayani Tuhan yang jauh dan tidak perduli, yang mengucapkan kata-kata klise yang membesarkan hati hanya dari pinggir lapangan yang aman. Sebaliknya, Tuhan telah turut masuk ke dalam penderitaan kita. Tuhan Yesus melakukannya di dalam sepanjang hidup-Nya dan berpuncak di salib, Roh Kudus juga melakukannya di dalam diri kita sekarang ini. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita sendiri.
Ketiga : jangan menyerah, tapi belajar bertekun
Bersabar dan bertekunlah. Alkitab mengatakan, "Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun." (Yakobus 1:3,4).
Pembentukan karakter merupakan proses yang lambat. Kapan pun kita berupaya menghindari atau melarikan diri dari kesulitan di dalam kehidupan, kita memotong proses tersebut, menunda pertumbuhan kita, dan akan berakhir dengan jenis penderitaan yang lebih parah yang diakibatkan karena kita tidak bertumbuh.
Bila kita memahami konsekuensi-konsekuensi kekal dari pengembangan karakter kita yang dikerjakan oleh Tuhan, maka kita akan lebih jarang menaikkan doa-doa yang sifatnya "puaskan akui" (misalnya: "Tolong Tuhan supaya aku merasa nyaman"). Tetapi kita akan lebih banyak menaikkan doa-doa "Bentuklah aku" (misalnya: "Pakailah peristiwa ini untuk menjadikanku lebih serupa dengan Engkau").
Kita sekarang tahu bahwa kita sedang menjadi dewasa bila mulai melihat tangan Allah di dalam lingkungan kehidupan yang acak, membingungkan, dan sepertinya tanpa arti. Oleh karena itu apabila kita sedang menghadapi penderitaan sekarang, jangan bertanya, "Mengapa aku mengalami penderitaan ini?" Tetapi bertanyalah, "Apa yang Engkau ingin agar aku pelajari?" kemudian percayalah kepada Allah dan tetap melakukan apa yang benar.
"Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu." (Ibrani 10:36)
Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin