Pendahuluan
Etika berbeda dengan etiket,
walau keduanya terdengar sama. Etika berbicara tentang karakter dan moral
individu. Sedangkan etiket berbicara tentang bagaimana memelihara hubungan yang
baik antar sesama manusia. Etika memiliki dua dimensi yaitu vertikal (antara
Allah dan manusia) dan horizontal (antara sesama manusia), sedangkan etiket menitikberatkan
hanya pada satu dimensi yaitu horizontal.[Baca juga: Darimana kita tahu bahwa Alkitab berisi berita yang dapat dipercaya? Klik disini.]
Sebagai contoh:
Tidak menjadi soal jika seseorang
dilahirkan menjadi seorang Irian Jaya dan telah terbiasa sejak kecil untuk
berpakaian minim di kampungnya. Tetapi hal ini mungkin akan menjadi persoalan
jika ia bersikeras untuk tampil setengah telanjang pada saat diundang sebagai
narasumber dalam suatu talkshow di
televisi misalnya. (Persoalan etiket)
Tidak peduli apakah seseorang adalah pribadi yang terbiasa tampil setengah telanjang di kampung, ataupun apakah dia adalah seorang bankir yang biasa tampil necis setiap hari, ketika ia membunuh seseorang maka ia pasti akan menghadapi tuntutan keadilan yang sama. (Persoalan etika)
Dari contoh sederhana ini jelas
terlihat bahwa persoalan etiket sangat erat kaitannya dengan budaya setempat,
tetapi persoalan etika adalah persoalan jati diri kita sebagai manusia yang
memiliki nilai-nilai moralitas yang berbeda dengan makhluk lain di dunia ini. [Baca juga: Arti penting penguasaan diri, ketekunan dan kesalehan. Klik disini.]
Etika hubungan Allah dan manusia dalam hidup keseharian
Jika kita suka melibatkan Allah di dalam hidup ini, apakah hal itu berarti kita seorang yang sok rohani secara berlebihan?
Jika kita barangkali pernah bertanya-tanya, mengapa dalam hidup ini kita harus mengenal Allah? Atau bahkan, mengapa istilah Allah harus disebut-sebut dalam hidup kita sehari-hari? Memangnya apa sih pentingnya Dia itu bagi hidup kita?
Sebagaimana kita ketahui, hidup keseharian ini diwarnai oleh berbagai persoalan, ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang penting, ada pula yang tidak terlalu penting. Dan kita, setiap hari senantiasa harus memikirkan berbagai persoalan itu untuk dicarikan jalan keluarnya. Pertanyaannya, apa arti penting Allah sehingga kita harus pula mengikutsertakan Dia di tengah-tengah persoalan yang kita hadapi? Tidak cukupkah jika kita hanya memikirkan saja kebutuhan-kebutuhan hidup kita tanpa harus membawa-bawa istilah “Allah” dalam hidup kita? Ataukah, orang-orang yang suka melibatkan Allah di dalam kehidupan sehari-hari mereka, pada dasarnya tidak lebih dari orang-orang yang sok rohani atau sok suci belaka?
Dasar Alkitabiah
Musa melalui Kejadian 1:1 memberi kita suatu sudut pandang yang tepat bagi dasar-dasar etika kehidupan manusia, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah hasil karya ciptaan Allah. Kalimat dalam Kejadian 1:1 berbunyi: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.”
“Cuma itu saja?” kita bertanya. Jika langit dan bumi saja yang diciptakan Tuhan, bagaimana dengan bintang, bulan dan planet-planet lainnya?
Makna yang terkandung di dalam istilah “langit dan bumi” jauh lebih luas dari istilah itu sendiri karena yang dimaksud oleh ayat ini bukanlah langit yang kita lihat dan planet bumi yang kita diami ini saja, melainkan segala sesuatu yang terdapat di dalam dunia realitas.
Jika demikian, apa implikasi etis dari penciptaan langit dan bumi oleh Allah?
Implikasi etis pertama
Segala yang ada di langit dan bumi adalah milik kepunyaan Tuhan, bukan kita. Itu sebabnya kita tidak diajarkan untuk memakai secara semena-mena alam semesta ini, apalagi merusaknya. Ini sama seperti seseorang yang sedang bermain-main di halaman belakang rumah kita. Halaman belakang itu milik kita, juga segala hal yang ada di atasnya, entah itu pepohonan, binatang peliharaan, maupun meja kursi taman dan segala yang ada di taman itu. Tentu tidak etis jika orang yang kita izinkan bermain-main di halaman belakang kita itu dengan seenaknya memangkas pohon kamboja kesayangan kita, atau membanting beberapa pot bunga yang kita taruh di sana, atau membawa pulang seenaknya meja atau kursi taman yang ada di sana bukan?
Dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan masyarakat di berbagai belahan bumi ini, kita mulai merasa menjadi raja di atas bumi ini. Di satu sisi, memang ada benarnya bahwa kita telah diberi mandat budaya oleh Allah untuk mengelola bumi ini, tetapi di sisi lain, kita harus senantiasa kembali pada Kejadian 1:1 untuk mengingat bahwa bagaimanapun juga Tuhanlah yang memiliki bumi. Dengan kesadaran ini, kiranya kita dapat sedikit meredam hasrat merusak yang ada di dalam diri kita dan mulai memperlakukan ciptaan Tuhan dengan sikap yang lebih hormat.
Implikasi etis kedua
Implikasi lain dari penciptaan adalah bahwa Tuhan dan ciptaan adalah dua entitas yang berbeda sama sekali. Yang pertama sudah ada dan senantiasa ada, tetapi yang kedua baru ada setelah di-ada-kan oleh yang pertama. Dengan kata lain, Tuhan bersifat kekal, tetapi ciptaan tidak. Tuhan tidak bermula dan tidak berakhir, tetapi ciptaan memiliki permulaan [1]. Dengan mengumumkan suatu kalimat penting: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi,” Alkitab menantang dan menentang setiap orang yang menganut paham Panteisme.
Panteisme adalah suatu pandangan filsafat yang meyakini adanya suatu kesatuan antara allah dan ciptaan. Selengkapnya mengenai Panteisme, Lorens Bagus mengatakan:
Allah merupakan suatu prinsip impersonal, yang berada di luar alam, tetapi identik dengan-Nya. Panteisme meleburkan Allah ke dalam alam, seraya menolak unsur adikodrati-Nya. Menurut panteisme, segala sesuatu tidak merupakan substansi yang independen.[2]
Alkitab tidak mengajarkan paham panteisme ini, sebab berdasarkan Kejadian 1 ini jelas sekali bahwa ada suatu perbedaan hakikat antara Pencipta dan ciptaan. Allah tidak melebur di dalam ciptaan, melainkan Allah berkuasa di atas segala ciptaan tersebut.[3] Implikasi etisnya adalah bahwa kita tidak sepatutnya menyembah ciptaan Tuhan, melainkan Dia yang telah mencipta itulah yang patut disembah. Bayangkan jika suatu hari kekasih anda memberikan foto dirinya untuk disimpan, dengan harapan anda selalu ingat pada dirinya. Tetapi yang terjadi kemudian adalah anda jauh lebih mencintai foto tersebut ketimbang sang kekasih itu sendiri. Ini tentu tidak etis bukan?
Implikasi etis ketiga
Karena seluruh alam semesta ini adalah milik Dia, maka segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta ini berada di bawah pengawasan Dia. Entah Dia setuju atau tidak setuju pada apa yang sedang terjadi, tetapi satu hal yang pasti adalah bahwa Dia mengawasi segala yang terjadi di alam semesta ini.
Oleh karena itu, bekerja dan beraktifitas di dalam dunia ini adalah suatu hal yang sepatutnya kita lakukan untuk Dia atau bagi Dia.
Seringkali orang memiliki cara pandang yang sempit bahwa melayani Tuhan sama artinya dengan menjadi Pendeta. Melayani Tuhan hanya dipahami sebagai bermacam-macam aktivitas yang kita lakukan di gereja. Ini adalah cara pandang yang terlalu sempit dan perlu untuk diperbaiki.
Allah kita adalah Allah yang begitu besar, jauh lebih besar dari seluruh alam semesta ini sekalipun, tetapi kita telah seolah-olah mengurung Dia di dalam gereja kita yang kecil. Seolah-olah Allah hanya layak disembah, dibicarakan, dipikirkan atau dilayani dari dalam gereja saja, sehingga ketika kita keluar dari gedung gereja, maka hubungan kita dengan Dia terputus sudah. Ini tidak benar.
Karena Allah adalah Allah atas dunia ini maka segala pekerjaan baik yang ada di dalam dunia ini layak dipersembahkan bagi Dia. Tidak menjadi soal apakah anda bekerja sebagai seorang akuntan, ataukah sopir angkot. Tidak menjadi soal apakah anda bekerja di kota besar atau di daerah pedalaman. Tidak menjadi soal apakah pekerjaan anda terlihat oleh orang banyak dan memberi dampak yang luas bagi masyarakat ataukah pekerjaan anda begitu sunyi, tidak terlihat dan seolah memberi dampak yang kecil saja bagi kehidupan masyarakat. Tidak menjadi soal apakah anda adalah seorang wanita karier ataukah ibu rumah tangga. Tidak menjadi soal apakah anda pendeta ataukah seorang tukang semir sepatu. Semua pekerjaan itu layak dipersembahkan kepada Tuhan dan ketika anda melakukannya dengan sungguh-sungguh dan dilandasi moralitas yang baik, maka pada dasarnya anda juga sedang melayani Allah.
Menjadi pendeta tidaklah lebih mulia daripada menjadi seorang mekanik di sebuah bengkel mobil, jika kedua hal itu dilakukan dan dikerjakan secara bermoral dan dipersembahkan kepada Tuhan. Menjadi kasir supermarket yang jujur dan percaya kepada Allah, jauh lebih mulia ketimbang menjadi pendeta yang menipu jemaatnya. Duduk di belakang meja sambil memikirkan strategi pemasaran yang tepat bagi perusahaan anda jauh lebih mulia dibanding menjadi pendeta yang kerjanya hanya bermalas-malasan saja.
Saya selalu memakai contoh pendeta, bukan karena saya benci pada profesi tersebut, tetapi agar sifat kontrasnya dapat muncul dan mudah dipahami oleh kita semua bahwa seperti itulah cara pandang Alkitab yang sebenarnya mengenai etos kerja kita sehari-hari. Pekerjaan seorang manusia tidak dilihat dari jenisnya atau jabatannya, tetapi dilihat dari seberapa setia dan jujur kita melakukannya serta seberapa sungguh-sungguh kita melakukannya bagi Tuhan yang adalah Tuhan atas semua pekerjaan baik di dunia. Sebelum dunia terbentuk seperti sekarang ini, Dialah Pribadi yang telah terlebih dahulu melakukan pekerjaan di dunia ini.
Kesimpulan
Dengan mempertimbangkan berbagai implikasi etis di atas, maka adalah tidak mengherankan jika di dalam hidup ini kita melibatkan Allah dalam segala apa yang kita kerjakan. Hal itu adalah suatu konsekuensi wajar jika kita melihatnya dari sudut pandang yang benar, yaitu bahwa Dia adalah pencipta dari segala sesuatu.
Bukanlah suatu sikap yang sok rohani jika kita berusaha mencari kaitan antara apa yang kita kerjakan atau kita alami dengan Pribadi Tuhan, karena sebagaimana kita ketahui Tuhan adalah Pribadi yang berkuasa bukan saja di dalam dimensi material seperti kita tetapi juga dimensi rohani atau spiritual. Apa yang terjadi di dalam dunia materi memiliki kaitan dengan apa yang terjadi di dalam dunia spiritual. Tidak peduli seberapa jauh dimensi teknologi telah mencapai berbagai kemajuan, fakta yang satu ini tidak mungkin terhindarkan.
Kiranya melalui tinjauan singkat ini kita dapat semakin mampu memandang kehidupan dan pekerjaan kita dari sudut pandang yang etis serta sesuai dengan maksud dan tujuan Allah ketika Dia menciptakan kita.
Tuhan Yesus memberkati. (Oleh: Izar Tirta).[1] Beberapa ciptaan akan berakhir, tetapi ada pula ciptaan Tuhan yang direncanakan untuk ada selama-lamanya. Jadi ada permulaan tetapi tidak ada akhiran.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 774.
[3] Anda mungkin heran mengapa saya mengangkat persoalan ini, tetapi jika kita cermati berbagai pandangan yang beredar di zaman Postmodern ini kita akan temukan bahwa Panteisme cukup subur berkembang di dalam benak masyarakat sekarang ini. New Age Movement adalah suatu paham atau gerakan yang juga menganut Panteisme ini. Nama gerakannya sendiri boleh memiliki kesan baru “new age” tetapi gagasan yang dijual sama sekali bukan “barang” baru.