Sebuah renungan dari Kejadian 3:21
Mengapa Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia?
Mengapa pakaian yang dibuat oleh manusia tidak diterima oleh Allah?
Lewis Smedes, seorang pakar Psikologi dari Fuller Theological Seminary, di dalam bukunya yang berjudul Shame and Grace mengaku demikian: “Apa yang paling saya rasakan adalah rasa ketidaklayakkan yang tidak dapat dihubungkan dengan dosa tertentu yang saya lakukan. Apa yang lebih saya perlukan daripada pengampunan adalah perasaan bahwa Tuhan menerima saya, memiliki saya, memeluk saya, meyakinkan saya, dan tidak akan pernah melepaskan saya bahkan walaupun Ia tidak terlalu terkesan dengan apa yang ada di tangan-Nya itu.” [ Lewis B.Smedes, Shame and Grace (San Fransisco: Harper Collins, 1993), 80.]
Apa yang diutarakan oleh Smedes adalah jeritan setiap jiwa manusia, termasuk saya. Di satu sisi ada perasaan ingin diterima oleh Tuhan, tetapi di sisi lain ada perasaan bersalah aneh yang seolah terus menghantui diri, secara perlahan namun pasti, dengan suara yang halus namun terus menerus, berteriak di dalam batin mengenai sesuatu yang tidak beres dengan diri ini. Tetapi apa tepatnya?
Smedes mengungkapkannya dengan kalimat: “rasa ketidaklayakkan yang tidak dapat dihubungkan dengan dosa tertentu yang saya lakukan.” Artinya, kita tetap merasa ada yang salah dengan diri ini, sekalipun tidak ada kesalahan spesifik yang baru saja kita perbuat. Dunia Teologi secara umum menamakan kondisi ini sebagai “status berdosa.” Sementara para pengikut John Calvin menyebutnya sebagai “total depravity.”
Pakaian buatan manusia
Manusia pertama, Adam dan Hawa, juga mengalami hal itu ketika mereka jatuh ke dalam dosa. Alkitab melukiskan peristiwa itu demikian: Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. (Kejadian 3:7).
Sebelum mereka melanggar perintah Tuhan, hasrat mereka yang terbesar adalah “mengetahui apa yang baik dan yang jahat.” Dan Iblis sudah memprediksi bahwa jika mereka makan buah larangan itu, maka mata mereka akan terbuka.
Tragisnya, setelah mata mereka benar-benar terbuka, yang mereka lihat justru adalah kekurangan yang memalukan di dalam diri mereka. Apa yang dulu, di dalam sudut pandang mereka yang polos tanpa dosa, merupakan hal yang biasa bagi mereka, yaitu suatu keterbukaan baik terhadap Allah maupun terhadap sesama. Kini mereka masing-masing merasakan ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu kekurangan yang memalukan, yang tidak ingin diperlihatkan, baik kepada Tuhan, maupun kepada sesama.
Mereka berusaha menutup-nutupi kekurangan ini dengan “menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.” Mengenai tindakan ini, Gordon J.Wenham punya pendapat demikian:
They realized they were nude, and they sewed fig leaves together. Fig leaves were probably used because they are the biggest leaves available in Canaan, though their heavy indentations must have made them less than ideal for a covering. [Gordon J.Wenham, Word Biblical Commentary Vol 1 (Texas: Word Books Publishers, 1987), 76.]
Mereka kelihatan agak kehabisan akal untuk menutup-nutupi kesalahan tersebut. Dengan bekal sarana seadanya, mereka membuat pakaian penutup itu, walaupun tidak memadai. Wenham kemudian melanjutkan: Though somewhat ineffective, these actions suggest urgency and desperation; the innocent serenity of 2:25 is shattered. [Gordon J.Wenham, Word Biblical Commentary Vol 1 (Texas: Word Books Publishers, 1987), 76.]
Perasaan tidak layak karena dosa seperti yang dialami oleh Adam dan Hawa adalah perasaan berdosa yang sama dengan yang saya miliki, dan mungkin juga kita semua, jika mau jujur. Dan sama seperti mereka, kita manusia dari zaman ke zaman, juga telah berupaya sedemikian rupa untuk menutup-nutupi apa yang tidak beres dengan diri kita ini.
Dari pengamatan saya selama ini, saya menyimpulkan ada dua kelompok besar dari upaya-upaya manusia untuk “menjalin dedaunannya sendiri” (istilah yang saya pinjam dari Alkitab) demi menutup-nutupi perasaan tidak layak karena dosa di hadapan Tuhan. Kelompok yang pertama saya kategorikan sebagai budaya sekularisme dan kelompok yang kedua adalah budaya agamawi.
Budaya sekularisme
Di dalam kelompok ini, saya memasukkan segala upaya manusia dari abad ke abad untuk menyingkirkan peranan Tuhan di dalam dunia. Peran Tuhan dalam hubungan dengan manusia ditekan begitu rupa sampai pada titik ketiadaan, nihil.
Budaya agamawi
Mungkin anda merasa heran melihat saya memasukkan budaya agamawi sebagai satu dari dua hal yang dilakukan manusia untuk menutup-nutupi dosanya di hadapan Tuhan. Bukankah agama seharusnya merupakan sarana untuk datang kepada Tuhan, mengapa justru dimasukkan sebagai unsur yang dihubungkan dengan upaya manusia untuk menjalin dedaunannya sendiri?
Jika kita perhatikan bagaimana Tuhan Yesus mengecam ahli-ahli agama di zaman-Nya, mungkin kita akan lebih mengerti mengapa hal tersebut perlu dilakukan.
Pakaian buatan Allah
Menanggapi perbuatan Adam dan Hawa, Alkitab kemudian menjelaskan: “Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka.” (Kej 3:21)
Ayat ini sering luput dari perhatian kita, yaitu bagaimana Tuhan sendiri yang kemudian membuat pakaian untuk Adam dan Hawa. Pertanyaannya adalah, mengapa??
Jika manusia sudah membuat pakaiannya sendiri, tetapi Tuhan ternyata masih juga membuatkan pakaian untuk mereka, maka kemungkinannya hanya satu, yaitu bahwa Tuhan memandang pakaian buatan manusia tidak cukup baik sehingga Ia tidak menerimanya. Kabar baiknya adalah, Dia bersedia untuk membuatkan pakaian lain untuk manusia.
Tindakan Tuhan yang membuat pakaian untuk manusia tersebut, memberi indikasi bahwa di sepanjang Alkitab kita akan terus diberitahu bahwa dalam upaya penyelamatan manusia dari hukuman dosa, Tuhanlah subjeknya, bukan manusia. Kita tidak menyelamatkan diri sendiri, Tuhanlah yang menyelamatkan kita. Kejadian 3:21 memang tidak memberi indikasi apa-apa tentang tokoh Yesus Kristus, tetapi penelusuran Alkitab secara lebih jauh pada akhirnya pasti akan membawa kita kepada Dia.
Sebagaimana seekor binatang harus mati untuk menutupi ketelanjangan manusia, demikian pula Yesus Kristus harus mati untuk menutupi dosa manusia. Baik kematian binatang itu, maupun kematian Kristus, semuanya itu adalah karya Allah bagi manusia.
Apakah kita sudah mulai melihat hubungan di antara keduanya sekarang?
Akhir kata
Dari bagian-bagian awal Alkitab saja kita sudah diberi petunjuk bahwa Allah adalah sosok Pribadi yang berdaulat terhadap manusia. Kondisi kita yang berdosa, membuat diri kita tidak pantas bagi-Nya dan di dalam kedaulatan-Nya, Ia bisa saja membuang kita begitu saja. Jika Tuhan memutuskan untuk membiarkan saja kita di dalam kondisi berdosa ini, maka itu jelas bukan kesalahan-Nya. Kitalah yang pertama-tama telah berdosa pada-Nya.
Pesan Alkitab mengenai tindakan Tuhan yang membuat pakaian bagi manusia adalah bahwa di dalam upaya menanggulangi dosa serta segala konsekuensinya, hanya Dia yang mampu berbuat sesuatu untuk kita. Upaya kita hanya akan sia-sia dan tidak memadai di mata Allah. Jangankan menanggulangi dosa, menutupi ketelanjangan saja kita dinilai tidak mampu.
Mungkin kita akan tergelitik rasa keingintahuannya, jika dikatakan bahwa gagasan semacam ini adalah gagasan yang unik, khas, hanya ada di Alkitab. Tidak ada buku lain yang pernah melontarkan gagasan seperti ini.
Tuhan Yesus memberkati. (Oleh: izar tirta).