Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. (Amsal 3:5)
Percayalah kepada TUHAN
Penulis Amsal mendorong pembacanya untuk percaya dan juga untuk bersandar kepada Tuhan. Dan menarik untuk diperhatikan bahwa istilah yang dipakai pada ayat ini adalah "TUHAN," yaitu nama dari Allah yang telah memperkenalkan diri kepada Israel. Oleh karena itu, kepercayaan kita kpada Tuhan bukanlah jenis kepercayaan yang tanpa ada relasi Pribadi. Di dalam kekristenan yang sejati, orang yang percaya adalah orang yang mengenal Allahnya serta menjalin hubungan dua arah dengan Allah yang dikenal itu.
Mempercayai Tuhan adalah tindakan yang baik dan benar yang seharusnya dilakukan oleh setiap manusia. Sebab sebagai manusia kita tidak mungkin tidak mempercayai sesuatu, itu adalah bagian dari natur diri kita sendiri. To be human is to believe something. Jika seseorang tidak mau mempercayai Tuhan, maka pastilah orang itu akan percaya pula pada sesuatu yang lain, entah percaya pada dirinya sendiri, atau percaya pada kekuatan alam atau percaya pada makhluk lain di luar bumi. Tidak ada manusia yang tidak percaya pada apapun.
Oleh karena manusia tidak mungkin terhindar dari kebutuhan untuk mempercayai seseorang atau sesuatu, maka sangatlah wajar apabila penulis Amsal mendorong pembaca tulisannya agar mempercayai Tuhan, mengapa? Pertama, sebab Tuhan-lah yang paling berkuasa dan paling mampu menjaga orang-orang yang percaya kepada-Nya. Kedua, sebab Dia pulalah sumber segala kebenaran, sehingga apapun yang diajarkan oleh Tuhan pastilah merupakan ajaran kebenaran. Mengapa manusia harus memilih kepalsuan? Sedangkan Sang Kebenaran sendiri telah membuka diri-Nya untuk dikenal dan dipercayai?
Mempercayai Tuhan dengan segenap hati
Apa yang dimaksud dengan mempercayai Tuhan dengan segenap hati? Mungkin pertanyaan seperti ini terdengar cukup sederhana, tetapi apakah kita pernah benar-benar merenungkan arti dari pernyataan tersebut? Mempercayai Tuhan dengan segenap hati berarti kepercayaan itu bukan hanya teori saja, bukan hanya sebatas tahu apa yang dipercayai, atau sebatas setuju saja dengan iman Kristen.
Percaya pada Tuhan dengan segenap hati berarti di dalam kepercayaan itu ada keterlibatan hati, yaitu:
- Hati yang rela, bukan karena terpaksa.
- Hati yang bersuka, bukan bersedih.
- Hati yang mengasihi, bukan yang membenci.
Meskipun kekristenan berbicara banyak mengenai pengetahuan dan pengajaran serta memberikan banyak informasi tentang Allah, tentang manusia, alam semesta, dunia roh, akhir kehidupan dan lain sebagainya, tetapi inti sari dari kekristenan yang sejati bukanlah menjadikan manusia-manusia cerdas dengan segudang informasi di kepala. Inti sari dari kekristenan adalah cinta kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia. Wujud nyata dari iman kepercayaan manusia kepada Allah adalah mengenal Dia dan di dalam pengenalan itu terjalin pula relasi cinta kasih yang timbal balik. Ada keterlibatan hati antara manusia dengan Allah, bukan pengetahuan yang bersifat cognitif belaka.
Apa gunanya mengetahui doktrin tentang dosa, apabila kita sendiri tidak merasa berdosa? Apa gunanya menjadi pandai dalam doktrin Allah Tritunggal, tetapi kita tidak mengasihi Allah dan tidak ada ketertarikan di dalam hati untuk menjalani kehidupan yang serupa dengan kehidupan Allah Tritunggal? Semua pengetahuan doktrinal itu menjadi tidak berguna.
Di sisi lain, ada pula orang Kristen yang menganggap bahwa yang paling penting di dalam kekristenan adalah unsur emosi atau perasaan, sambil mengabaikan arti penting dari pengajaran yang Alkitabiah. Ini juga sikap yang salah, sebab tanpa pengertian yang benar, emosi manusia pun bisa berjalan ke arah yang salah.
Tanpa pengetahuan kerajinan pun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah. (Amsal 19:2)
Perkataan yang diambil dari Amsal menegaskan betapa pentingnya pengetahuan itu. Tanpa adanya pengetahuan akan kebenaran, sikap tulus atau kerajinan pun bisa salah langkah.
Jangan bersandar pada pengertian sendiri
Penulis Amsal bukan saja memberikan dorongan yang positif, tetapi juga memberi larangan kepada pembacanya. Kekristenan tidak sama dengan motivator yang hanya bisa memberi dorongan atau hiburan atau kalimat-kalimat positif. Kekristenan juga berbicara tentang larangan, batasan dan bahkan teguran. Tuhan tidak pernah ada di dalam posisi yang diseret-seret oleh kebutuhan manusia narsistik, yang terus menerus butuh dihibur dan didorong. Manusialah yang harus mendengarkan Tuhan, bukan Tuhan yang harus mendengarkan manusia. Tuhan bebas untuk menegur manusia demi mengubah dan mempertobatkan manusia itu.
Penulis Amsal melarang pembacanya untuk bersandar pada sesuatu yang salah. Jadi dalam hal ini, bukan berarti bahwa bersandar itu merupakan suatu kesalahan. Bersandar pada sesuatu atau seseorang adalah hal yang natural atau wajar dilakukan oleh manusia, dikarenakan manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang terbatas. Yang dilarang oleh penulis Amsal adalah bersandar pada pengertian manusia itu sendiri. Mengapa? Sebab pengertian manusia, seberapapun pandainya, tidaklah sempurna. Pengertian manusia itu bagaimanapun juga ada keterbatasan dan bahkan telah dicemari oleh dosa, sehingga pengertian itu dapat membawa manusia pada jalan kebinasaan.
Larangan yang diberikan oleh penulis Amsal ini sesungguhnya merupakan suatu tindakan kebaikan, yaitu agar manusia jangan terjebak oleh sesuatu yang tidak pasti dan dapat membawa mereka pada kecelakaan. Penulis Amsal mengarahkan pembacanya justru kepada jalan yang akan membawa mereka pada keselamatan.
Tidak semua orang di dunia tentu saja menyukai nasihat seperti ini. Sejak jaman Adam dan Hawa manusia sudah menunjukkan ketertarikan untuk mengerti sesuatu dengan pengertiannya sendiri tanpa harus bergantung pada pengertian yang berasal dari Tuhan. Di jaman sekarang pun gejala ini masih terlihat dengan sangat jelas, sebagai bukti betapa jauhnya manusia telah jatuh ke dalam dosa.
Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. (Amsal 3:6)
Akuilah Dia dalam segala lakumu
Penulis Amsal mendorong kita sebagai pembaca, untuk mengakui peran serta Tuhan di dalam segala perbuatan kita. Dengan demikian, kita berarti mengakui keberadaan Tuhan dalam hidup kita. Kita sadar akan campur tangan serta kehadiran-Nya dalam hidup kita dalam setiap tindakan di dalam kehidupan ini.
Mengakui Tuhan dalam setiap tindakan dan setiap aspek hidup, sebetulnya merupakan hal yang wajar sekali, sebab Allah adalah pemilik segalanya di dalam kehidupan mamusia. Tidak ada satu aspek dari kehidupan manusia yang tidak berkaitan dengan Allah. Bumi, langit dan segala isinya adalah milik Allah. Manusia dicipta oleh Allah. Manusia dipanggil untuk bekerja pun oleh Allah. Manusia dipanggil untuk mengelola dunia oleh Allah. Manusia dipanggil untuk melayani sesama oleh Allah. Manusia dipanggil untuk beribadah juga oleh Allah. Manusia menikah juga atas kehendak dan panggilan dari Allah.
Tidak ada satu jengkal pun dari aspek kehidupan manusia yang tidak berelasi dengan Allah. Bahkan panggilan untuk menikmati ciptaan pun datangnya dari Allah. Jadi jika manusia diminta untuk mengakui Allah di dalam segala lakunya, maka itu wajar-wajar saja.
Yang tidak wajar adalah hal yang sebaliknya, yaitu meng-exclude Tuhan dari kegiatan kita. Yang sangat keliru adalah ketika Allah dikeluarkan dari kehidupan manusia. Itu adalah kesombongan manusia. Dan itu adalah dosa dimata Allah.
Jadi dosa itu tidak perlu sampai jauh-jauh membunuh atau mencuri. Dengan tidak mengakui Allah di dalam setiap tindakan kita sajapun, hal itu merupakan kesombongan.
Maka Ia akan meluruskan jalanmu:
Bagi orang yang sungguh-sungguh melibatkan Tuhan. Maka Tuhan yang adalah sumber terang sejati itu. Pasti akan meluruskan jalan kita. Sehingga kita tahu apa yang menjadi tujuan hidup kita.
Kita tahu bagaimana melakukan sesuatu di dalam kehidupan ini. Ketika hidup kita dipenuhi kelimpahan kita tahu bagaimana bersikap sehingga tidak jatuh oleh kelimpahan tersebut. Ketika hidup kita kekurangan, kita juga tahu bagaimana harus memandang kekurangan tersebut dan tidak menjadi kecewa kepada Tuhan.
Orang yang mengakui Allah di dalam setiap lakunya, akan mempunyai relasi yang intim dengan Allah. Orang itu akan semakin mengenal jalan pikiran Allah, sehingga ia dapat menjalani kehidupan yang lebih sesuai dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan.
Hasil akhir dari mengakui Allah di dalam setiap laku kita, bukanlah pengekangan, melainkan justru suatu kebebasan. Kebebasan untuk berjalan bersama Allah. Kebebasan untuk mengenal, mengasihi, serta menikmati Dia. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin.