![]() |
| Siapakah yang bertanggungjawab atas sebuah kejahatan? |
Dunia ini telah sangat sering melihat terjadinya tindak kejahatan, mulai dari pembunuhan Kain terhadap Habel hingga berbagai pembunuhan, perkosaan, perampokan dan penipuan yang terjadi hingga saat ini. Sudah ada begitu banyak nyawa melayang dan ada berjuta-juta kehidupan yang telah dihancurkan oleh kejahatan manusia semenjak dosa masuk ke dalam dunia ini. [Baca juga: Mengapa Kain menjadi marah dan ingin membunuh Habel? Klik disini.]
Tidak jarang perbuatan-perbuatan jahat itu diasosiasikan lebih sebagai perbuatan setan, sebagai kontras dari perbuatan manusia. Bahkan tidak jarang pula kita dapati bahwa para pembuat kejahatan itu mengaku bahwa mereka melakukan perbuatan jahat tersebut karena merasa dibisiki oleh suatu sosok yang tidak tampak oleh mata. Ada pula orang yang tampil seperti orang kesurupan, lalu melakukan perbuatan jahat dan kemudian mengaku tidak sadar telah melakukan hal-hal yang jahat tadi.
Ide seperti yang disebutkan di atas, bukanlah ide yang asing dalam kehidupan populer. Bahkan ide seperti ini seringkali didukung pula oleh film-film horror populer seperti Insidious, Exorcism, ataupun film-film yang bertemakan tentang Werewolves. Intinya, dalam film-film itu, seorang manusia digambarkan sedang dalam keadaan tidak sadar ketika melakukan pembunuhan yang mengerikan tersebut. Mengapa mereka dalam keadaan tidak sadar? Sebab hal tersebut dilakukan pada saat mereka sedang menjadi menjadi “sosok yang lain.”
Ada kesan melempar tanggungjawab atas segala kejahatan yang mereka lakukan kepada pihak yang lain, yaitu si setan yang merasuki orang tersebut. Bahkan salah satu film horror yang pernah beredar menuliskan semacam sub judul: The Devil Made Me Do It, setan yang melakukan itu, bukan saya. Saya sih baik orangnya, tetapi setan itulah yang jahat, dan setan itulah yang harus tanggungjawab, bukan saya.
Apakah secara Alkitabiah, cara berpikir seperti yang saya gambarkan di atas bisa diterima? Jawabannya: Tidak bisa.
Setan atau iblis memang jahat, tidak ada keraguan sedikitpun terhadap hal itu. Namun kita tidak bisa begitu saja melemparkan kejahatan yang terjadi di dunia ini kepada setan. Sebab bagaimanapun juga yang melakukan kejahatan adalah manusia itu sendiri. Ide-ide yang seolah melempar kesalahan pada setan, adalah suatu upaya penghindaran dari tanggungjawab manusia, sebagai yang melakukan kejahatan tersebut.
Menurut Alkitab, kebiasaan melempar kesalahan seperti ini tidak dapat dibenarkan. Sebab ketika seseorang menusuk orang lain dengan pisau, maka meskipun tindakan tersebut dipengaruhi/dibisiki oleh suatu entitas yang satanik, tetapi bagaimanapun juga yang melakukan penusukan tersebut tetap adalah si manusia itu, dan bukan si setan.
Mulai sejak kitab paling awal dari Alkitab, yaitu kitab Kejadian, manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk melempar kesalahan kepada orang lain atau pihak lain. Adam melempar kesalahan pada Hawa, sambil turut mempersalahkan Tuhan. Lalu Hawa juga melempar kesalahan tersebut kepada si ular. Intinya, manusia berdosa cenderung tidak merasa dirinya berdosa, sebaliknya mereka cenderung menganggap pihak lainlah yang salah. Jangankan setan yang disalahkan, bahkan Tuhan sendiri pun turut dipersalahkan oleh manusia yang berdosa. [Baca juga: Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati. Klik disini.]
Itu sebabnya sudah bukan hal yang aneh lagi apabila di dalam budaya populer kita disuguhkan pada kisah-kisah dimana manusia pelaku kejahatan berbuat seolah-olah perbuatan itu bukan tanggungjawab dirinya sendiri, tetapi sebagai akibat kejahatan dari pihak lain.
Saya mengenal seseorang di dalam hidup saya yang sejak kecil punya kecederungan untuk selalu menganggap orang lain yang salah, sehingga dirinya sendiri tidak pernah ada kesempatan belajar untuk introspeksi dan tidak pernah belajar untuk mengakui kesalahan apapun.
Sejak SMA ia sudah bermasalah, ia sulit lulus di SMA yang satu, lalu pindah sekolah ke SMA lain, karena merasa bahwa pihak sekolah yang sebelumnya telah berlaku tidak adil kepadanya. Setelah akhirnya lulus SMA (walau telat), ia masuk kuliah di sebuah Universitas swasta. Lalu kejadiannya pun berulang kembali. Ia merasa bahwa dosennya sentimen, sistem di Universitasnya tidak beres, teman-temannya kacau dlsb sedemikian rupa sehingga ia tidak bisa menyelesaikan kuliahnya yang lagi-lagi jadi tertunda sedemikian lama. Usianya semakin lama semakin tua, tetapi ia tetap saja mahasiswa. Dan semua itu menurut dia adalah kesalahan dosen, kesalahan teman-teman, kesalahan universitas, bahkan orang tuanya pun dianggap bersalah karena telah memasukkan dia ke fakultas yang menurut dia tidak cocok.
Selanjutnya karena gagal di universitas tersebut, ia keluar, drop out. Dan orangtuanya menawarkan dia sekolah di bidang yang menurut dia merupakan bidang yang diminati. Tetapi seperti yang sudah-sudah, ia gagal lagi dan gagal lagi, dan selalu saja orang lain atau pihak lain yang salah atas kegagalannya tersebut.
Anak semacam yang saya sebutkan di atas adalah sosok pribadi yang sudah rusak mentalnya. Jangankan diteropong dari sisi Alkitab, diteropong dari sisi kehidupan yang normal saja pun dia sudah terlihat tidak normal, alias buruk. Menurut standar Alkitab, perjalanan kerohanian seseorang yang normal adalah ketika seseorang semakin lama akan semakin sadar bahwa dirinya berdosa, bukan makin lama semakin merasa tidak berdosa.
Bagaimana mungkin ia akan sampai ke kondisi spiritual seperti yang diharapkan oleh Alkitab, seperti: “berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” jika dalam kesehariannya ia begitu fasih dalam mempersalahkan orang lain dan begitu anti dalam melakukan introspeksi, serta sama sekali tidak punya keberanian untuk mengakui bahwa dirinya bersalah atau sekedar mengakui bahwa dirinya ada kelemahan?
Ketika sebuah kejahatan terjadi, katakanlah misalnya sebuah pemerkosaan, maka sebetulnya bukan iblis yang melakukan pemerkosaan, tetapi manusia. Apabila iblis yang memperkosa, maka manusia tidak bertanggung jawab sehingga tidak bisa dipersalahkan. Tetapi pada kenyataannya, manusia pemerkosa itulah yang harus ditangkap dan diadili, sebab bagaimana pun juga dimata hukum, tetap orang itulah yang melakukan perbuatan jahat.
Peran iblis dalam kejahatan adalah dalam hal menawarkan ide lewat kata-kata. Ketika manusia menerima ide tersebut, lalu melakukannya. Maka kejahatan pun berubah dari sebuah ide menjadi sebuah tindakan. [Baca juga: Dalam hal apakah Iblis dikatakan berbahaya? Klik disini.]
Iblis memberi ide kepada Hawa, lalu Hawa bertindak, maka Hawa-lah yang bersalah di dalam tindakan tersebut. Ide atau perkataan iblis inilah yang dilawan oleh Tuhan Yesus ketika berada di padang gurun. Manusia punya pilihan untuk mendengar iblis atau tidak. Hawa mendengar. Yudas mendengar. Banyak pula manusia yang suka mendengar iblis atau pun nabi palsunya. Tetapi Tuhan Yesus adalah teladan kita. Ketika iblis mencobai Dia dengan perkataan dan ide yang jahat, Tuhan Yesus menolak. Kitapun harus seperti itu. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin.
