Sunday, October 27, 2024

Siapakah pendiri dari Menara Babel?

Nimrod, sang pendiri Menara Babel

Menurut tradisi Yahudi, Nimrod dipercaya sebagai pendiri dari menara Babel, pandangan seperti ini didukung pula oleh sejarahwan Yahudi bernama Josephus di dalam bukunya yang berjudul Antiquities of the Jews chapter IV. Dari sudut pandang Alkitab, pandangan tersebut cukup berasalan, sebab di dalam Alkitab sendiri dikatakan demikian: 8Kush memperanakkan Nimrod; dialah yang mula-mula sekali orang yang berkuasa di bumi; 9ia seorang pemburu yang gagah perkasa di hadapan TUHAN, sebab itu dikatakan orang: "Seperti Nimrod, seorang pemburu yang gagah perkasa di hadapan TUHAN." 10Mula-mula kerajaannya terdiri dari Babel, Erekh, dan Akad, semuanya di tanah Sinear. (Kejadian 10:8-10)

Di dalam Alkitab, Babel sendiri merupakan gambaran dari kerajaan dunia, atau kota sekuler yang berpusat pada diri sendiri (self-centered). Sehingga, gambaran tentang Babel tersebut sangatlah kontras dengan gambaran dari Kota Allah (The City of God) yang perpusat pada Pribadi Tuhan.

Apa natur dari menara Babel itu sendiri? Apakah menara Babel merupakan tempat kediaman manusia, yang kurang lebih sama seperti apartment di jaman sekarang ini? Sepertinya bukan, sebab para ahli Perjanjian Lama cukup sepakat bahwa menara Babel pada dasarnya merupakan sebuah Ziggurat yang tinggi dan besar sekali, dan bukan bangunan untuk tempat tinggal manusia seperti hotel atau apartment di jaman sekarang. Tinggi dari menara Babel bisa mencapai hingga 200 meter. Suatu angka yang cukup fantastis untuk ukuran bangunan di zaman ribuan tahun yang lalu, karena ketinggian seperti itu kurang lebih sama dengan bangunan modern 60 lantai di zaman sekarang.

Ziggurat adalah sebuah bangunan yang biasanya terletak tidak jauh dari kuil penyembahan dewa-dewa. Fungsi Ziggurat adalah sebagai sarana bagi dewa untuk turun ke bumi. Orang Babel percaya bahwa seorang dewa akan turun dari langit melalui Ziggurat itu, lalu setelah dewa menjejakkan kaki di bumi, maka kemudian dewa itu akan masuk ke dalam kuil untuk menerima penyembahan dari manusia. Mungkin untuk lebih mudahnya, Ziggurat itu dapat dibayangkan berfungsi sebagai semacam elevator pada jaman sekrang.

Persoalan di dalam kisah menara Babel bukanlah sekedar tentang manusia yang ingin memakai daya ciptanya untuk membangun sebuah menara. Persolannya terletak di dalam motivasi dari manusia yang membangun menara itu karena ingin melawan Tuhan dan untuk meninggikan diri mereka sendiri.

Mengapa dikatakan melawan Tuhan? Karena pada pasal sebelumnya jelas dinyatakan bahwa Tuhan berkehendak agar mereka tersebar ke seluruh bumi. Tetapi manusia dengan sengaja berkumpul di satu tempat sebagai tindakan yang kontras sekali dengan keinginan Tuhan.

Mengapa  dikatakan meninggikan diri sendiri? Karena menara Babel yang mereka dirikan itu akan mereka pakai sebagai simbol kebanggaan manusia. Mereka mau mencari nama melalui pembangunan menara tersebut. Mereka tidak ada motivas untuk mengenal Tuhan, menyembah Tuhan, apalagi mengasihi Dia.

Itu sebabnya, Tuhan pun kemudian turun mendapati mereka, namun bukan untuk memperkenalkan diri atau berelasi dengan mereka, melainkan untuk mengacaukan bahasa mereka dan untuk menyerakkan mereka ke seluruh penjuru bumi. Jika pada mulanya Tuhan mengutus manusia untuk pergi ke seluruh bumi untuk melakukan pekerjaan Tuhan, maka karena pemberontakan, akhirnya manusia diserakkan ke seluruh bumi, sebagaimana keinginan Allah semula, namun bukan melalui karya pengutusan, melainkan melalui semacam tindakan pengusiran dari Allah. Bagaimana pun juga keinginan Allah akan tetap terpenuhi, namun kerugian ada di pihak manusia, sebab mereka bukan mendapat berkat, tetapi justru mendapat penghakiman.

Orang-orang di Babel hanya berpikir untuk mencari nama bagi mereka sendiri. Mereka tidak mencari kemuliaan bagi nama Tuhan. Jika kita hidup hanya untuk kepentingan diri kita sendiri saja, maka bagaimana kita dapat menikmati persekutuan dengan Allah? Rencana Allah akan tetap terjadi dengan atau tanpa kita, tetapi sangat rugilah hidup kita apabila tidak ikut ambil bagian di dalam rencana dan pekerjaan Allah di dunia ini.

Mengapa merupakan hal yang salah, apabila manusia terus bersekutu di satu tempat dengan satu bahasa seperti yang dilakukan oleh orang-orang di dalam peristiwa menara Babel? Miroslal Volf, seorang teolog dari Kroasia, mengatakan: apabila ada sebuah negara atau kekuatan politik yang bersifat otoriter, satu bahasa dan dikuasai oleh satu orang saja. Maka dapat diperkirakan bahwa orang tersebut akan menjadi penentu bagi apa yang baik dan yang jahat.

Oleh karena itu, Tuhan ingin manusia berpencar, berkembang menurut budaya masing-masing sambil mengelola bumi bagi Allah.

Di dalam kedaulatan Tuhan, kegagalan manusia di dalam peristiwa menara Babel pun dapat membawa karya keselamatan Allah bekerja, yaitu melalui panggilan terhadap Abraham. Ketika Tuhan memerintahkan Abraham untuk pergi, maka Abraham taat dan pergi, meninggalkan sanak saudaranya, kampung halamannya, kenyamanannya, untuk pergi kepada bangsa-bangsa lain yang terpencar. Abraham pergi bukan karena diusir, melainkan karena ia dipanggil dan diutus oleh Allah.

Pekerjaan Abraham tersebut, kemudian berpuncak di dalam peristiwa Pentakosta, yaitu ketika Roh Kudus turun dan berbicara kepada bangsa-bangsa di dunia, dengan tujuan untuk membawa bangsa-bangsa itu kembali kepada Bapa.